Welcome to My Blog



Do’a seorang muslim untuk saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan).Di sisinya ada malaikat yang bertugas.Setiap kali dia mendo'akan kebaikan untuk saudaranya,malaikat tersebut berkata : "Aamiin, dan engkau akan mendapatkan yang sama dengannya." [HR. Muslim 2733] Dengan mendo'akan kebaikan untuk saya,Insyaa Allah Anda akan mendapat kebaikan yang sama.

Senin, 09 Agustus 2010

Pengembangan Kurikulum - Book Report

BAB I
PENDAHULUAN



Para pengembang kurikulum, para pembuat keputusan, dan para pendidik harus menjadi orang – orang pertama yang menjawab pertanyaan tentang tujuan pendidikan lingkungan jika penguasaan pengetahuan di arahkan kepada pemahaman dan menjadi tujuan utama. Tujuan pendidikan lingkungan harus dipandang dengan mempertimbangkan individu, kebudayaan, latar belakang pribadi, dan pendorong intrinsic. Dengan cara yang demikian pendidikan lingkungan dapat memenuhi maksud dan tujuan yang telah ditentukan.
Dalam pengajaran tentang tentang lingkungan, kegiatan belajar sering dirancang agar melibatkan penggunanaan lingkungan sekitar siswa, atau belajar langsung di alam untuk mengeksplorasi masalah – masalah lingkungan. Dilihat dari sudut metodologi pendekatan pengajaran seperti ini sering diberi nama ”pengajaran nonformal”. Sebutan nonformal juga diberikan kepada upaya – upaya pendidikan lingkungan yang hanya sedikit melibatkan sekolah formal. Dalam buletin ini akan dibicarakan konsep tentang pendidikan nonformal dan menerapkan sebuah definisi pendidikan nonformal kepada program pendidikan lingkungan.
Belajar adalah aktivitas manusia yang terjadi tanpa desakan (Bloom, 1976). Belajar yang alami adalah sebuah proses pembentukan makna yang berasal dari informasi dan pengalaman yang dilakukan oleh seorang individu secara aktif, dan atas kemauan sendiri, di mana informasi tersebut disaring dengan menggunakan persepsi, pemikiran dan perasaan (McCombs et al. 1991). Namun belajar tidak menjadi jaminan bahwa si pembelajar akan memperoleh informasi atau kecakapan yang dinginkan oleh masyarakat, majikan, guru, atau pendidik (Archambault, 1964). Oleh karena itu, belajar dirancang untuk menciptakan sebuah kerangka yang bertujuan untuk mentransfer ilmu pengetahuan yang secara lebih umum dipandang sebagai ”pendidikan”.
Adalah penting untuk mempertimbangkan bagaimana lingkungan bisa digunakan untuk menjalankan program dan upaya – upaya pengajaran dalam teori nonformal. ”Lingkungan” adalah salah satu elemen dalam kegiatan belajar mengajar. Lingkungan tersebut bisa berbentuk fisik, atau sengaja dirancang dan lingkungan afektif yang diciptakan melalui interaksi antara pendidik, pembelajar secara individual, kelompok pembelajar, muatan dan lingkungan fisik (Heimlich dan Norland, 1993).
Sebuah taksonomi untuk memahami belajar dapat diciptakan dengan cara melihat lingkungan di mana informasi ditransfer. Kita bisa menguji ciri – ciri unik dari masing – masing lingkungan belajar yang dapat meningkatkan potensi belajar dalam kegiatan belajar-mengajar. Sebuah taksonomi yang dipakai secara luas adalah konsep lingkungan pendidikan formal, nonformal dan informal. Buletin ini akan membentuk suatu definisi umum untuk ketiga istilah tersebut sebagai awal untuk mengeksplorasi penggunaan teori tersebut ke dalam praktik dalam arena pendidikan lingkungan, terutama lingkungan pendidikan nonformal. Dalam menciptakan definisi umum, akan dilakukan usaha untuk memahami bagaimana pendidikan dapat memanfaatkan lingkungan belajar yang alami dan manusiawi.


















BAB II.
RINGKASAN ISI BUKU

A. Pertimbangan Filosofis untuk Pengembangan Kurikulum dalam
Pendidikan Lingkungan

1. Perlunya Reformasi

Makna penting dari kata reformasi yang ditulis tiga decade yang lalu, menggambarkan keinginan yang mendesak untuk perbaikan dalam system pendidikan kita. Banyaknya kekecewaan terhadap pendidikan saat ini, dan khususnya terhadap sekolah, adalah akibat dari iklim akademik yang tidak mempertimbangan aspek pribadi dan tidak dihubungkan dengan minat, pengalaman, dan kebutuhan para peserta didik. Filosofis dasar dan metode pendidikan tradisional menjauhkan anak – anak dari dirinya sendiri, dari teman sebaya dan gurunya, serta dari masyarakat.
Menurut Sergiovanni (1990), keterputusan dan kedifensivan menjadi ciri sistem tersebut. Penulis tersebut mengatakan bahwa tiga perempat juta siswa yang lulus dari sekolah menengah atas adalah tidak melek secara fungsional, tiga perempat juta lainnya drop out. Di kalangan warga kulit hitam dan keturunan Spanyol angka drop out sekitar 50%. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, mengapa hampir tiga puluh tahun telah berlalu tanpa ada perbaikan kurikulum yang signifikan? Mengapa begitu banyak kekerasan di sekolah – sekolah? Bagaimana cara kita membimbing anak – anak dari berbagai kebudayaan ke dalam sistem pendidikan kita?
Sebuah review terhadap literatur pendidikan menunjukkan bahwa ini adalah bukan pertanyaan – pertanyaan baru. Pedagogik harus berusaha menjawab pertanyaan – pertanyaan ini. Selama revolusi industri misalnya, paradigma yang menggambarkan sebuah pandangan mekanistik diterapkan terhadap sistem pendidikan. Efisiensi adalah kata kunci dengan anak – anak dipandang sebagai bahan mentah yang harus dicetak dan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat industri. Para imigran ”diamerikakan” agar berfungsi sebagai roda penggerak mesin industri yang besar.
Perubahan diperlukan untuk mempertahankan peradaban di abad ke 21. Namun perubahan yang diperlukan lebih berupa penyesuaian sebagian ketimbang perubahan masyarakat secara keseluruhan. Pengindividuan, perubahan norma, penghargaan terhadap pribadi – pribadi dan terhadap kebudayaan kolektif harus menjadi pertimbangan. Penguasaan pengetahuan harus mempertimbangkan realitas pribadi individu dalam hubungannya terhadap dunia di mana pribadi tersebut berada. Penguasaan ilmu pengetahuan dan implikasinya terhadap perbaikan pendidikan perlu dipertimbangkan sebelum perbaikan dimulai. Dengan melihat faktor – faktor emosional, kebudayaan, dan sosiologis yang mempengaruhi kerangka kerja kurikulum, wawasan dapat diraih ke dalam pemahaman individu.


2. Perlunya Pertimbangan untuk Kurikulum Lingkungan

Gagasan tentang pengembangkan kurikulum menyebabkan banyaknya fakultas yang menggeluti bidang ini. Pada saat mengembangkan kurikulum, perhatian harus diberikan kepada pandangan filosofis pengembang dan paradigma kurikulum yang dijadikan dasar. Schubert (1986) menyatakan ” Sudut pandang membentuk konteks dan latar belakang yang mewarnai pengembangan seperangkat keyakinan atau asumsi.” menurut penulis ini, filosofi menjadi jantung setiap penciptaan kurikulum.

Pandangan filosofis seseorang membantu untuk membentuk komponen penting di dalam kurikulum. Pandangan – pandangan ini sebaiknya mengambil pendekatan eklektik atau terintegrasi dari filsafat Naturalisme, Pragmatisme, Existensialisme, dan Phenomenologi. Naturalisme menyokong perkembangan individu dan mendorong hubungan yang dekat dengan alam. Dari Pragmatisme memunculkan gagasan bahwa ilmu pengetahuan diciptakan melalui rekonstruksi pengalaman.
Filsafat Eksistensialisme dan Phenomenologi dibuat lembut supaya tidak menjadibertentangan dengan pandangan Naturalisme. Keyakinan yang dipegang di sini adalah bahwa dunia sedang menjauh dan cara untuk mendekatinya adalah harus dengan tanggung jawab terhadap kehidupan seseorang. Juga menjadi perlu untuk memahami hal yang berkaitan dengan peristiwa – peristiwa yang menimpa seseorang dari perspektif sejarah pribadi. Tujuan seharusnya diarahkan untuk membantu individu dalam memahami bahwa pilihan adalah elemen kunci dalam mengembangkan sebuah kehidupan. Belajar sepanjang hayat adalah juga mungkin bila pilihan – pilihan direalisasikan. Untuk melihat alternatif, pemahaman harus diraih dengan mempertimbangkan diri sendiri dan orang lain. Semakin banyak informasi yang dimiliki, maka semakin banyak pilihan yang bisa diambil seseorang.

3. Paradigma – Paradigma Untuk Pengembangan Kurikulum

Setelah landasan filosofis dibuat, langkah selanjutnya adalah pengembangan kurikulum yang didasarkan pada salah satu dari tiga paradigma kurikulum: Positivisme, Phenomenologis/interpretif, dan Kritis. Masing – masing paradigma ini berkaitan dengan dasar filosofis yang menjelaskan tentang apakah ilmu pengetahuan itu dan bagaimana cara memperolehnya.

4. Positivisme
Tujuan dari Positivisme adalah untuk menjelaskan, memperkirakan, dan mengontrol. Metode – metode evaluasi didasarkan pada metode ”ilmiah” dengan premis bahwa ilmu sosial dan ilmu alam di ditentukan oleh seperangkat hukum universal yang mengakui fakta – fakta positif dan fenomena ”objektif” yang bisa diobservasi. Paradigma ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah realitas objektif yang dapat difragmentasi, dipisah – pisahkan, serta dipahami, diprediksi dan dikontrol.
Ilmu pengetahuan juga dipandang sebagai kebebasan nilai dan tujuan. Terdapat sebuah dualisme dalam hal ini antara yang mengetahui dan yang duketahui. Berdasarkan objektivitas premis ini, implikasi politis, ekonomis dan sosial dari inkuiri tidak dipertimbangkan. Lincoln dan Guba (1985) menyimpulkan pandangan ini dengan mendaftar lima asumsi Positivisme.
a. sebuah asumsi ontologi tentang sebuah realitas tunggal dan nyata ”di luar sana” yang bisa dipisahkan menjadi bagian – bagian yang dapat dipelajari secara tersendiri; keutuhannya adalah jumlah dari bagian – bagian tersebut.
b. sebuah asumsi epistemologi tentang kemungkinan terpisahnya peneliti dari yang diteliti atau yang mengetahui dari yang diketahui.
c. sebuah asumsi kemandirian observasi yang temporal dan kontekstual, sehingga apa yang benar pada satu waktu dan di satu tempat pada keadaan yang tepat mungkin juga benar pada waktu dan tempat yang lain.
d. sebuah asumsi kausalitas linier; tidak ada akibat tanpa sebab dan tak ada sebab tanpa akibat.
e. sebuah asumsi aksiologis tentang kebebasan nilai, yaitu metodologi memberi jaminan bahwa hasil yang berasal dari sebuah inkuiri adalah benar - benar terbebas dari pengaruh sistem nilai manapun.

Kekuatan paradigma Positivisme terletak pada penekanannya. Perspektif ini disimpulkan sebagai klasifikasi, dengan penekanan pada prediksi dan kontrol. Tidak ada tindakan untuk perubahan sosial dan politis diimplementasikan. Pengetahuan yang diperoleh melalui paradigma ini adalah fondasi bagi bidang – bidang seperti biologi, zoologi, kimia, dan ilmu – ilmu sosial di mana klasifikasi menjadi tujuan.
Kelemahan paradigma Positivisme adalah bahwa paradigma ini mengurangi kompleksitas manusia. Paradigma ini memisah – misahkan dan memilah – milah manusia dan alam, serta asumsi dibuat bahwa ilmu pengetahuan adalah kebebasan nilai. Objektivitas lebih menyandarkan pada proses pertimbangan seperti intuisi dan wawasan. Dalam hal ini banyak faktor moral, etika, politik, dan implikasi ekonomi tidak dipertimbangkan.

5. Phenomenologis/Interpretif
Perilaku mental dan psikologis semisal berfikir, merasakan, dan menafsirkan dipakai untuk menjelaskan dan memahami pengalam – pengalaman manusia. Pengalaman itu sendiri harus dipelajari dan yang mendasari asumsi para penganut phenomenologis adalah ”...bahwa pengalaman manusia dapat didaftar dan dijelaskan agar kita bisa belajar bagaimana kita mendapatkan makna dari pengalaman – pengalaman kita” (Eichelberger, 1989).
Dari perspektif ini, fokusnya bukan pada penemuan aturan universal tetapi pada menafsirkan dan memahami pengalaman.
Menurut Lincoln dan Guba (1985), sebuah realitas yang terbentuk mengandung sejumlah konstruksi yang mungkin dibuat dan karenanya ada realitas majemuk. Inkuiri diletakan dalam realitas yang holistik, divergen dan konstruktif. Pemahaman pengetahuan dan implikasi nilai – nilai politik dan ekonomi di perkenalkan. Ciri – ciri ini merupakan kekuatan paradigma tersebut.
Kelemahan dari paradigma phenomenologis/intepretif terlihat dalam peran peneliti dan praktisi dalam hal subjektivitas. Meskipun para peneliti dan praktisi “menyimpan dalam keranjang” teori nilai pribadinya agar bisa bersikap objektif, namun objektivitas menjadi patut dipertanyakan.

6. Paradigma Kritikal

Premis dari paradigma Kritikal adalah pembelaan. Tujuannya adalah untuk membebaskan orang dari ideologi pribadi dan sosial melaui pemahaman dan tindakannya sendiri. Dengan cara ini implikasi nilai politis dan ekonomis serta penguasaan pengetahuan dikenali. Jika tujuan dari paradigma phenomenologis adalah untuk memahami, dan tujuan paradigma Positif untuk memprediksi dan mengontrol, lalu tujuan paradigma Kritikal adalah pembebasan di alam. Perubahan adalah kata kunci dari paradigma ini.
Beberapa kekuatan dari paradigma Kritikal adalah pengenalan dampak nilai, bahwa pengetahuan itu tidak netral, dan proses edukatif melibatkan para peneliti, praktisi dan juga para anggota kelompok. Tujuan pembebasan juga dipandang sebagai kekuatan. Baik paradigma Kritikal maupun paradigma Intepretif memahami proses penemuan yang bisa mencakup wawasan dan intuisi. Paradigma Kritikal bergerak menjauhi proses linier kausal.
Sementara itu, kelemahan paradigma Kritikal, adalah subjektivitas peneliti dan praktisi. Juga yang dipandang sebagai kelemahan paradigma ini adalah pengakuan dan interaksi para peneliti dan praktisi terkait dengan masalah moral, politis, dan ekonomis. Dengan maksud menerapkan perubahan sosial, pemberdayaan para peneliti bisa negatif.
7. Epistemologi dalam Kurikulum Lingkungan
Dengan telah ditentukannya posisi filsafat dalam hubungannya dengan pengembangan kurikulum, masalah penting berikutnya adalah mendefinisikan apakah ilmu pengetahuan itu dan apa saja yang tidak termasuk ilmu pengetahuan, dilihat dari pandangan filsafat tersebut. Shubet (1986) menyatakan, ” Epistemologi adalah bisa digolongkan kepada cabang ilmu filsafat yang secara langsung berbicara tentang pendidikan.” Dia (Shubet) memberikan enam pengertian yang meliputi, Kekuasaan, Wahyu, Empirisme, Akal, Metode Ilmiah, dan Intuisi.
Untuk memahami penguasaan ilmu pengetahuan perlu kiranya untuk memulai dengan sebuah definisi. Ilmu pengetahuan dapat didefinisikan secara luas berdasarkan teori dasar psikologi mulai dari teori tentang stimulus-respons (Skinner, 1953) hingga psikologi humanistik (Maslow, 1968, Rogers, 1951) atau teori – teori eksistensialis. Menurut Polanyi (1958), ada dua jenis ilmu pengetahuan, yaitu Ilmu Pengetahuan Eksplisit dan Ilmu Pengetahuan Tersembunyi. Ilmu pengetahuan eksplisit berhubungan dengan apa – apa yang tertulis atau peta, atau juga rumus – rumus matematika. Ilmu pengetahuan tersembunyi berkaitan dengan pemahaman pengalaman kita yang dipakai untuk mendapatkan penguasaan intelektual (Polanyi, 1958)
Pemahaman kata – kata dan simbol – simbol adalah juga sebuah proses tersembunyi dan berkaitan dengan pengalaman kita. Menurut Polanyi (1958) yang menjadi ilmu pengetahuan buat kita adalah apa – apa yang kita cari kebenarannya, kita verifikasi dan segala sesuatu yang dikatakan dan alami oleh kita. Kita menjauh dari posisi yang dirasa agak bermasalah kepada posisi yang kita anggap lebih memuaskan.
Ada sebuah perbedaan antara pemahaman dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berkaitan dengan aspek – aspek yang lebih konkrit sedangkan pemahaman menggambarkan penguasaan pada tingkat yang lebih tinggi dan lebih bersifat individu. Pengalaman kita disaring melalui kerangka konsep yang berdasarkan ilmu pengetahuan yang sudah ada,(Boulding, 1956). Hawkins (1985) mendefinisikan kerangka konsep sebagai susunan yang kompleks yang terdapat dalam memori tempat menyimpan data, peta kognitif yang digunakan sebagai acuan untuk menilai dan mengasimilasikan informasi baru yang diterima melalui panca indera, dan sistem nilai yang terus – menerus dimodifikasi sebagai respons terhadap stimulus eksternal dan pemikiran internal.
Pemahaman masing – masing individu mungkin akan berbeda meskipun pengetahuannya sama. Hal ini berkaitan dengan pengalaman dan kerangka konsep yang dimilikinya. Banyaknya pengalaman dan keterbukaan terhadap pengalaman menghasilkan kerangka konsep yang lebih luas. Terbatasnya pemahaman mungkin terjadi karena kerangka konsep yang membatasi respons, pilihan, dan proses yang digunakan dalam problem solving.

8. Pendidikan Eksperimen dan Kurikulum Lingkungan
Setelah kita menentukan landasan berupa apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan dan apa yang bukan ilmu pengetahuan, kita bisa melanjutkan diskusi tentang metode belajar. Priest (1986) menyatakan bahwa pengalaman belajar perlu melibatkan enam indra termasuk intuisi. Juga mencakup domain kognitif dan afektif. Pendekatan belajar yang aktif semacam itu menopang metode eksperimen, yang berlandaskan paradigma Kritikal.
Dari karya DuShane (1980), premis lain dari paradigma Kritikal juga mendapat dukungan. Asumsi pertama DuShane menyebutkan bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan manusia dan untuk menguasasi keahlian – keahlian yang dibutuhkan untuk menuju ke arah pemenuhan kebutuhan hidup. Pendidikan harus menyatukan pemahaman tentang saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungannya. Dorongan internal dari seorang pembelajar harus diperhitungkan. Motivasi intrinsik dipandang sebagai ciri yang harus dibantu perkembangannya.

9. Metafora
Penggunaan metafora berkaitan dengan paradigma Kritikal melalui pengalaman sebelumnya, sumber literatur, dan bentuk – bentuk bahasa baru. Sanders dan Sanders (1984), mengelaborasi penggunaan metafora sebagai media pendidikan. Menurut penulis ini, pendidikan metafora mengajari individu untuk mengaitkan konsep dengan imajinasi. Selain itu, pemikiran metafora memberikan pemahaman konsep yang tidak mungkin terdapat pada kegiatan yang bersifat pasif seperti kegiatan membaca dan menulis.
Wawasan afektif dan penggunaan kedua bagian otak adalah juga efek dari pendidikan metaforik. Pembentukan konsep menjadi menjadi sebuah proses interaktif bila metafora digunakan. Otak belahan kanan menggunakan pengalaman hidup untuk menciptakan pemahaman konsep, sedangkan bagian otak sebelah kiri menggunakan proses analitik, (Sanders and Sanders, 1984).
Faktor lain dalam hal penggunaan metafora berkaitan dengan kerangka konsep yang telah disebutkan tadi. Kerangka konsep membantu membentuk fondasi yang digunakan oleh individu untuk memahami metafora. Nilai metafora berkaitan dengan persepsi individu akan realitas. Efektivitas belajar berkaitan dengan keunikan si pembelajar.
Metafora memungkinkan setiap individu untuk menggunakan persepsi mereka sendiri atas realita. Dengan mengsintesa konsep yang disajikan dalam literatur, pentingnya kekuatan eksternal mungkin harus diperhatikan. Keunikan si pembelajar yang dikombinasikan dengan kekuatan eksternal termasuk lingkungan, sangat mempengaruhi bagaimana konsep tersebut dikaitkan. Kekuatan eksternal, menurut Rogers (1951), meliputi pembentukan sebuah lingkungan yang aman dan tidak mengandung ancaman. Rogers juga menyatakan bahwa belajar adalah tantangan.jika konsep ini di ambil selangkah lebih maju kita akan mendapati pentingnya pembentukan sebuah lingkungan yang manusiawi. Rasa aman secara psikologis, empati, dan suportif adalah istilah – istilah yang dipakai untuk menjelaskan tentang lingkungan yang manusiawi.
Suatu metode yang menganggap bahwa penguasaan ilmu pengetahuan berhubungan dengan kerangka konsep, latar belakang hidup dan budaya seseorang disampaikan oleh Sanders and Sanders (1984) dan konsep tersebut diterapkan dalam pendidikan.
Pendidikan pengalaman metaforik adalah titik awal untuk melaksanakan perubahan. Melalui pendidikan pengalaman metaforik, siswa diarahkan kepada tingkat berfikir secara abstrak. Disarankan bahwa pendidikan metaforik dikombinasikan dengan pendidikan melalui pengalaman. Dengan menggunakan keduanya, para siswa dapat mencapai tujuan kurikulum yang diinginkan melalui penemuan (discovery) dan perbandingan (comparison).
Priest (1986) memandang program pendidikan semacam itu sebagai program yang merupakan campuran antara lingkungan dan pendidikan. Program menunjukkan cakupan yang luas mulai dari pengintegrasian teknik – teknik yang dipilih di dalam kelas hingga program kurikuler total yang dibuat berdasarkan teori – teori ini.

B. Pendidikan Lingkungan Nonformal
1. Definisi Lingkungan Belajar
Banyak penulis telah membuat definisi tentang belajar formal, nonformal, informal dan belajar terarah mandiri. Sebagian besar dari definisi berkisar diantara masalah siapa yang memegang kendali atas input dan outcome pembelajaran. Mocker dan Spear (1982) membuat sebuah alat untuk memahami hubungan antara tujuan – tujuan dan alat belajar dengan menciptakan matrik dua kali dua. Matriks ini mengidentifikasi ”tujuan – tujuan belajar” seperti dikontrol oleh institusi dan juga pembelajar pada satu dimensi, dan kontrol ”alat pembelajaran” oleh institusi dan juga si pembelajar di sisi yang lain. Mereka menyebut model ini sebagai Model Belajar Sepanjang Hayat.
Dengan menggunakan konstruksi Mocker dan Spear, berikut ini empat definisi yang dicapai:
a. Belajar formal: lembaga mengontrol tujuan dan alat pembelajaran.
b. Belajar non formal: pembelajar mengontrol tujuan tapi tidak mengontrol alat belajar
c. belajar informal: pembelajar mengendalikan alat – alat tetapi tidak mengendalikan tujuan
d. belajar terarah-mandiri: pembelajar mengendalikan tujuan dan juga alat.

Rancangan tentang siapa yang mengontrol/mengendalikan tujuan dan siapa yang mengontrol/mengendalikan alat untuk memenuhi tujuan – tujuan tersebut menjadikan adanya perbedaan antara lingkungan belajar dan metodologi. Definisi tentang lingkungan belajar bukan didasarkan pada kegiatan belajar-mengajar, metode, teknik, dan strategi pembelajaran. ”Nonformal” adalah sebuah label yang kadang – kadang diberikan kepada metode apa pun yang dipandang nontradisional. Sebuah kegiatan belajar yang dipindahkan ke luar kelas masih tergolong lingkungan formal sebab tujuan dan alat pembelajaran masih dikendalikan oleh institusi. Seorang pembelajar dewasa yang memilih untuk mengikuti seminar tentang pelestarian lingkungan mengendalikan tujuan belajar dengan pilihannya tersebut dengan memiliki tujuan untuk mensukseskan program tersebut. Tipe pendidikan seperti ini termasuk nonformal. Walaupun demikian, seminarnya itu sendiri memiliki tujuan yang sangat formal yang berbeda dengan tujuan yang dimiliki oleh si pembelajar.
Bahan yang diajarkan atau muatan tidak menentukan apakah tujuan pembelajaran tersebut formal atau nonformal. Seaman dan Fellenz (1990) menyatakan bahwa muatan mungkin berisi urutan penyajian bahan, kompetensi yang diharapkan, cara – cara mengevaluasi, latihan, alat – alat yang diperlukan, alokasi waktu, dan hasil yang harus dicapai. Muatan mungkin juga memuat strategi pengajaran yang digunakan.
Cranton (1989) mendefinisikan pendidikan sebagai kegiatan yang diorganisir dan berkelanjutan dengan tujuan untuk mengubah ilmu pengetahuan, kecakapan, atau nilai – nilai. Reed (dalam Reed and Longhran, 1984) menggunakan desinisi yang sangat mirip untuk pendidikan nonformal: upaya yang diorganisir, disengaja dan eksplisit untuk meningkatkan kualitas hidup melalui lingkungan non-sekolah. Untuk membandingkan belajar nonformal dengan belajar formal, Reed memberikan daftar ciri – ciri pendidikan nonformal yang bisa dikaitkan dengan taksonomi yang digunakan di atas:
• terpusat pada si pembelajar
• muatan berorientasi pada masyarakat
• tidak ada hubungan hirarki antara fasilitator dengan pembelajar
• menggunakan sumber – sumber setempat
• terfokus pada waktu saat ini
• tidak ada batasa usia pembelajar
beberapa penulis (seperti Akinpelu, 1977; Faure, 1972) membuat definisi yang membedakan antara konsep – konsep pendidikan dan belajar yang formal, nonformal dan informal. Pendidikan nonformal mengacu kepada posisi institusi dan karenanya berkaitan dengan metodologi. Belajar nonformal, dipandang dari sudut posisi pembelajar dan oleh karenanya memfokuskan kepada individu dan hubungan pembelajar dengan alat dan tujuan. Definisi tentang formal dan nonformal yang lebih menekankan pada lingkungan dan bukan berdasarkan metodologi dimunculkan oleh Roth dan Lockwood (1979) dengan menggunakan masyarakat sebagai alat untuk pengajaran isu lingkungan melalui aktivitas – aktivitas yang sesuai baik untuk kelompok formal maupun nonformal.
Lingkungan tidak bersinonim dengan tujuan. Beberapa pendidik menyediakan lingkungan alternatif untuk kelas tradisonal dengan harapan bahwa lingkungan fisik akan mentransformasikan tujuan guru (Musgrave, 1975). Dalam tulisan ini, pendidikan dan belajar dipakai sebagai istilah yang sejajar, namun definisi formal, nonformal dan informal dibentuk dari sudut pandang si pembelajar.

2. Belajar Nonformal dan Pendidikan Lingkungan
Pendidikan lingkuingan sangat berhubungan dengan pendidikan nonformal sebagai komponen utama dari ”pesan – pesan lingkungan” yang ditransfer kepada masyarakat. Namun, Guillierie dan Schoenfeld (1979) menyatakan bahwa pendidikan lingkungan sangat berhubungan dekat dengan program formal yang ditujukan pada upaya menghasilkan warga negara yang memiliki pengetahuan tentang lingkungan dan upaya bagaimana membantu menyelesaikan masalah – masalah lingkungan, dan didorong supaya berjalan ke arah penyelesaian.

3. Belajar Formal
Lingkungan belajar formal adalah lingkungan belajar di mana tujuan – tujuan belajar dan alat – alat belajar dikendalikan oleh institusi. Dalam lingkungan formal, pendidikan lingkungan sering hanya berupa pengajaran tentang lingkungan. Sistem pendidikan formal kadang – kadang dianggap sangat mudah diakses, sangat strategis bagi publik walaupun masyarakat pada umumnya agak jauh dari keikutsertaan dalam proses pembuatan keputusan (Disinger dan Floyd, 1990). Selain itu, tidak ada jaminan bahwa hasil yang diharapkan dalam membebankan pendidikan lingkungan kepada generasi muda dapat mencapai sasaran dalam menciptakan warga negara yang secara politik memiliki kepedulian lingkungan (Tanner dalam Sacks and Davis, 1979).
Sebuah laporan yang disampaikan kepada warga masyarakat New York dari Program Riset tentang Lingkungan dan Masyarakat (Milbrath, 1990) menyatakan bahwa para pelajar memiliki kesadaran dan kepedulian yang cukup terhadap masalah lingkungan namun kurang memiliki pengetahuan substansi tentang keberlangsungan lingkungan, tentang bagaimana dampak perilaku masyarakat terhadap lingkungan, dan tentang dampak masalah lingkungan terhadap masyarakat. Laporan ini menguji pendidikan lingkungan dalam lingkungan pendidikan formal dan menyarankan agar pengajaran yang berhubungan dengan lingkungan diperluas menjadi pengajaran yang multi disiplin, melibatkan konsep – konsep dan prinsip – prinsip matematis dan sains, berorientasi pada masalah, menyelesaikan masalah lokal dan global, serta melibatkan kontak langsung dengan alam. Masalahnya bukan terletak pada lingkungan formal atau informasi yang tidak memadai, namun ada pada terbatasnya pendidikan lingkungan dalam sebuah pendekatan yang berbasis disiplin ilmu yang terdapat pada struktur formal yang tampaknya menghambat pencapaian hasil guna membuat warga mendapat informasi dan aktif secara politik.
Lingkungan formal di mana pendidikan lingkungan berlangsung tidak terbatas pada pendidikan pedagogis, tetapi juga mencakup program sertifikasi dan sarjana, lisensi, juga latihan dalam bidang industri dan organisasi. Karena banyaknya pendidikan lingkungan, dan pendidikan tentang lingkungan, yang berlangsung ”di luar kelas”, metode yang digunakan sering dikacaukan dengan dasar filsafat pembelajaran. Metode yang digunakan mungkin bisa nonformal, atau non tradisional. Pertanyaan tentang siapa yang mengendalikan tujuan belajar dan apa media belajarnya tetap ada dalam definisi formal seperti dijelaskan oleh Mocker dan Spear dalam situasi ini. Program pelatihan, lisensi, sertifikasi dan program sarjana atau diploma telah membuat spesifikasi standar kemampuan yang harus dimiliki yang menunjukkan bahwa kendali atas tujuan belajar berada di tangan lembaga tersebut.
Banyak gerakan tentang pendidikan lingkungan ada dalam lingkungan formal. Namun upaya untuk mendidik orang tentang lingkungan dan hubungan mereka dengan lingkungan lebih banyak terjadi dalam lingkungan nonformal dan informal.

4. Belajar Nonformal
Pembelajaran nonformal adalah pembelajaran di mana individu mengendalikan tujuan belajar namun tidak mengendalikan media belajarnya. Di manakah pembelajaran nonformal terjadi dalam pendidikan lingkungan? Schafer (1981) menyatakan bahwa sahabat sejati pendidikan lingkungan adalah bukan lembaga pendidikan formal, namun lembaga pengelola dan perlindungan lingkungan. Organisasi – organisasi yang merespon terhadap kebutuhan warga dan menyediakan layanan atau program sering bertindak sebagai pendidik nonformal. Kebutuhan – kebutuhan warga atau klien diterjemahkan sebagai tujuan sebuah program, kampanye, gerakan, atau pelatihan.
Dalam merespon kebutuhan klien, sebuah organisasi mempertahankan kendali atas program pendidikan melalui strukturisasi program, menentukan bagaimana informasi disebarkan luaskan, disajikan, atau disediakan untuk para pembelajar. Manyak peserta dalam program pendidikan nonformal tidak menyadari bahwa kebijakan organisasi sebenarnya menentukan parameter program (Teich, dalam Sacks and Davis, 1979).
Beberapa program pendidikan nonformal mungkin tampak mirip seperti pendidikan formal, dan dalm beberapa situasi tampak lebih formal dalam strukturnya dibandingkan pembelajaran yang berlabel formal. Workshop dan seminar adalah dua metode pembelajaran yang biasanya dianggap nonformal. Klub, service group, dan berbagai organisasi mungkin menjadi penyedia pendidikan nonformal yang lebih signifikan. ”Panitia program” merespons kebutuhan dan keinginan para anggotanya dan mengidentifikasi program – program pada saat rapat atau pada program – program tertentu. Tujuan berasal dari para anggota, namun sarana pendidikan dikendalikan oleh organisasi yang lebih besar.
Pendidikan nonformal berdasarkan definisi adalah berada di luar sekolah. Perkumpulan anak muda seperti kepanduan memiliki perhatian terhadap lingkungan, dan bermuatan pendidikan lingkungan dan ini merupakan pendidikan lingkungan dalam bentuk yang lain. Para pembelajar mengendalikan alasan atas keikut sertaannya dan menentukan apa yang ingin diterima dengan mengikuti program itu. Karena pilihan adalah bagian dari aspek partisipasi dan tidak ada standar keanggotaan dalam group tipe ini adalah nonformal.



5. Belajar Informal
Belajar informal sering disebut ”belajar insidentil” di dalamnya peluang – peluang belajar dirancang oleh para pendidik, namun pilihan keikutsertaan sepenuhnya menjadi hak individu. Belajar insidentil dan belajar informal dalam lingkungan pedagogik sering melibatkan guru yang merespon terhadap peristiwa mendadak dan karenanya menciptakan kesempatan untuk belajar yang bukan merupakan bagian dari rencana belajar formal. Dalam lingkungan pendidikan, kegiatan interpretasi adalah komponen utama dari pendidikan informal. Dalam belajar informal, para pendidik atau intepreter mendefinisikan apa yang harus disediakan, disebarkan, atau disiarkan untuk para pembelajar, yang berkorelasi dengan tujuan – tujuan program. Lalu para pembelajar mengendalikan sarana untuk belajar dengan mendengarkan, membaca atau berpartisipasi dalam kegiatan lintas alam atau tour. Belajar informal berlangsung secara berkelanjutan.

6. Belajar Terarah-Mandiri

Belajar sendiri terarah berlangsung manakala seseorang mengendalikan hasil dan juga sarana untuk belajar. Seseorang yang membeli buku lalu belajar atas kemauan sendiri adalah menerapkan pola belajar terarah mandiri. Salah satu kesulitan dalam membicarakan belajar dengan cara ini adalah adanya potensi tumpang tindih antara belajar terarah-mandiri dengan tipe belajar yang lain.
Perbedaan istilah antara belajar informal dengan belajar terarah-mandiri menjadi perhatian filsafat namun bukan menjadi fokus dalam diskusi ini meskipun belajar terarah-mandiri merupakan komponen penting dalam belajar lingkungan secara keseluruhan.

7. Meningkatkan Pendidikan Nonformal dalam Pendidikan
Lingkungan

Pendidikan nonformal adalah komponen penting dalam pendidkan lingkungan. Klub – klub dan kelompok – kelompok lingkungan dengan jumlah anggota yang terus bertambah, bertindak sebagai kelompok – kelompok pendidikan nonformal yang utama. Jumlah mahasiswa yang memasuki program sarjana dalam bidang pendidikan lingkungan jumlahnya semakin meningkat. Pendidikan lingkungan sebagai sebuah bidang ilmu perlu mengeksplorasi bagaimana aktivitas dalam teori pendidikan nonformal dapat meningkatkan pertukaran informasi. Jelaslah bahwa sebuah riset perlu dilakukan.
Bila kita menerima asumsi Bloom (1976) yang menyatakan bahwa belajar adalah sebuah aktivitas yang alami, lalu salah satu tujuan dari belajar nonformal adalah untuk meningkatkan sifat – sifat inkuiri alami manusia. Pendidikan formal dikenali dari perspektif institusi atau guru tentang apa yang perlu diketahui oleh pembelajar; pendidikan nonformal menyatakan bahwa pendidik merancang pembelajaran berdasarkan pada apa yang dinginkan oleh pembelajar atau diketahui sebagai sesuatu yang perlu diketahui (Mocker and Spear, 1982). Hal itu tidak mungkin dilakukan dalam lingkungan pendidikan formal karena pendidikan formal tidak pernah memberi kebebasan pada jiwa dan pikiran manusia, namun mengikatnya (Lindenfed, 1973). Schrank (1972) menempatkan pendidikan formal di dalam batas – batas kebudayaan dan mendefinisikan tujuan belajar sebagai pengadaptasian potensi manusia kepada kebudayaan yang dominan, bukan mengembangkan potensi manusia.
Definisi belajar dalam berbagai lingkungan terus bermunculan. Belajar nonformal memberikan sebuah kesempatan untuk keluar dari fokus lingkungan belajar formal. Keberhasilan program lingkungan nonformal terletak pada cepat tanggapnya program terhadap kebutuhan dan keinginan pembelajar bukan pada dipersepsinya keinginan dan kebutuhan pembelajar oleh institusi atau oleh pendidik secara perorangan.
McCombs (1991) memberi definisi tentang belajar alamiah yang dapat diterapkan kepada penciptaan upaya – upaya pendidikan nonformal. Belajar alamiah adalah belajar yang aktif, atas kemauan sendiri, mendapat dorongan internal dan sebuah proses pembentukan makna individu. Bagaimana definisi ini berkaitan dengan belajar nonformal dalam pendidikan lingkungan?
Pertama, belajar alamiah adalah aktif. Ini tidak berarti bahwa semua belajar harus bergerak secara fisik, namun niat belajar harus datang dari dalam diri si pembelajar. Seorang guru tidak dapat ”mempelajari” siswa mana yang ingin belajar. (Purkey dan Novak, 1984). Dalam pendidikan lingkungan, banyak kesempatan dan situasi belajar yang memiliki daya tarik yang inheren bagi para pembelajar. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan daya tarik yang inheren dan menjadikan daya tarik itu untuk mendorong perubahan pendidikan. Smith (1966) memberikan dukungan terhadap upaya para pendidik dengan menyatakan bahwa pengajaran adalah suatu proses yang kreatif dan kreativitas itu jadi titian kepada pengalaman masa lalu seseorang dan memungkinkan para pembelajar untuk mempersatukan pengalaman – pengalaman ke dalam pola – pola baru, gagasan – gagasan baru, atau produk – produk baru. Pengalam – pengalaman pendidik dapat menjadi dasar untuk menciptakan belajar yang aktif bagi para peserta didik.
Kedua, belajar alamiah adalah atas kemauan sendiri. Meskipun setiap individu memiliki beberapa kesamaan sifat dengan orang lain, masing – masing individu adalah makhluk yang unik, yang berbeda dalam banyak hal. Adalah mustahil memisahkan individu pembelajar dari kehidupan individu tersebut. Seluruh elemen dalam kehidupan seseorang adalah pengalaman total seseorang (Richards, 1980). Pendidikan formal harus memberikan sebuah forum untuk menyatukan pembelajar dengan kehidupannya di luar lingkungan belajar. Dalam membuat struktur belajar nonformal, tujuan adalah milikpembelajar dan berasal dari pembelajar, namun belajar itu sendiri dirancang oleh pendidik atau institusi. Struktur pendidikan dapat dirancang untuk memasukkan atau tidak memasukkan pengalaman pembelajar di luar lingkungan belajar. Yang menjadi dasar pendidikan lingkungan dalam teori belajar nonformal menyatakan bahwa pembelajaran seharusnya didesain untuk memasukkan pengalaman, kepercayaan, pertimbangan, dan aspirasi individu si pembelajar.
Komponen ketiga belajar alamiah adalah bahwa belajar alamiah didorong secara internal dan puncaknya yang ke empat adalah proses pembentukan makna individu. Tidak akan ada belajar kalau tidak ada si pembelajar, tidak ana makna tanpa ada si pembuat makna (Postman dan Weingartner, 1969). Makna berasal dari dalam individu, namun gurulah yang merancang sebuah kerangka belajar dan dari kerangka itu makna ditarik (Carlsen, 1988). Piaget membedakan antara akomodasi, atau aplikasi struktur psikologi umum pembelajar terhadap situasi tertentu, serta asimilasi, atau pengambilan data dari lingkungan sebagai fungsi struktur internal pembelajar untuk menetapkan makna (Furth, 1970).
Dalam belajar informal, individu datang ke tempat belajar untuk menerapkan makna ke dalam informasi dan pengalaman yang sudah ada. Rogers (1983) menegaskan bahwa apapun yang dapat diajarkan kepada orang lain relatif tak berpengaruh atau hanya sedikit berpengaruh terhadap perilaku. Dalam sistem keyakinan pembelajar, belajar yang benar – benar berpengaruh terhadap perilaku adalah hasil belajar yang ditemukan sendiri atau belajar yang sesuai dengan diri sendiri.
Lingkungan fisik memiliki potensi untuk mempengaruhi belajar-mengajar baik dalam aktivitas pembelajar maupun dampak psikologi pada pembelajar. Dampak ini berasal dari persepsi individu terhadap lingkungan fisik dan bukan berasal dari lingkungan fisiknya sendiri (Heimlich dan Norland, 1993).seorang individu yang hampir tenggelam pada saat dia masih anak – anak mungkin akan merasa tidak enak berada di sekitar air; ketidaknyamanan itu berasal dari persepsi dia , bukankarena airnya itu sendiri.
Begiru peluang belajar dirancang dalam program nonformal, adalah penting untuk mempertimbangkan bahwa tidak semua persepsi pembelajar akan sesuai dengan persepsi program pengajar. Menciptakan situasi belajar yang memberi kesempatan untuk keberagaman intepretasi lingkungan fisik dapat meningkatkan hasil belajar (Musgrave, 1975). Lebih lauh lagi, dengan memberi kesempatan kepada individu untuk menerapkan interpretasikan afektif kepada situasi belajar sebelum memulai sebuah program, dapat meningkatkan kemauan pembelajar untuk berpartisipasi. Long (1983) percaya bahwa tujuan lingkungan fisik adalah untuk membantu menciptakan lingkungan afektif yang positif.
Dalam pendidikan lingkungan, sering diasumsikan bahwa karena kita telah berpindah ke dalam ”lingkungan nyata”, hanya perlu dilakukan sedikit pembentukan lingkungan belajar. Padahal kebutuhan manusia akan kenyamanan, keamanan, keselamatan, kehangatan, kepemilikan dan sebagainya harus ada dalam lingkungan belajar, terlepas dari apakah itu di dalam kelas, atau di gunung. Adalah penting untuk merancang pengalaman pendidikan nonformal yang memposisikan manusia ke dalam lingkungan belajar.
Apakah program lingkungan nonformal berupa klub luar sekolah, kelompok minat tertentu, atau kelompok tour alam ataupun bukan, belajar nonformal dapat ditingkatkan dengan membiarkan lingkungan fisik menjadi ”starting point” untuk belajar dan bukan sebagai ”ending point.” Holt (Merrill dan Gregory, 1974) menyatakan bahwa banyak waktu untuk belajar dipakai untuk memberikan jawaban kepada pembelajar, dan bukan dipakai untuk mengeksplorasi bagaimana pertanyaan itu muncul. Dalam pendidikan nonformal, pertanyaan dapat menjadi pelajaran dan bukan menjadi jawaban.

























BAB III
KESIMPULAN

Sikap orang terhadap lingkungan telah mendapat banyak perhatian dalam beberapa dekade terakhir ini. Banyak yang percaya bahwa solusi terhadap masalah lingkungan terletak pada sains dan teknologi yang mengambil pendekatan positif terhadap pendidikan, sedangkan sebagian lagi menilai bahwa solusi terhadap masalah lingkungan terletak pada penggunaan pendekatan yang holistik. Kelompok yang kedua ini melihat perlunya hubungan antara pikiran, jasad dan semangat.
Teknologi, sains, dan manusia, yang terdiri dari pikiran, jasad dan semangat, tidak dapat dipisahkan. Contoh dari hal tersebut diwujudkan dalam teori gaia, teori quantum, dan disertakan oleh jurnal Pendidikan Holistik (Holistic Education). Teori kontraversi ini telah menemukan jalannya dalam sistem pendidikan, yang muncul sebagai sebuah praxis baru. Metode pengajaran sains tradisional tidak lagi digunakan dengan ditemukannya metode – metode baru seperti discovery learning dan metode antar-disiplin ilmu yang komprehensif. Meskipun demikian metode – metode baru tersebut masih ada yang memperdebatkannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan lingkungan tidak lagi dipandang sebagai cabang ilmu yang terpisah, akan tetapi sebagai sebuah proses yang bisa diterapkan terhadap lingkungan pembelajaran. Kurikulum semacam itu harus mengandung macam – macam pemikiran yang paling umum dan abstrak, mencakup keseluruhan pengalaman yang berhubungan dengan pemikiran analitis logis, yang bertujuan untuk membantu perkembangan ilmu pengetahuan yang baru. Perubahan dan akibat perubahan dipengaruhi oleh kerangka konsep kita yang di dalamnya mengandung potensi kerugian. Kerugian tidak perlu dipandang sebagai kegagalan, tetapi harus dipandang sebagai sebuah perjalanan menuju keberhasilan. Potensi kerugian terbesar adalah kerugian yang direfleksikan dalam kehilangan diri sendiri, kegagalan diri sendiri, keterpisahan dari orang lain atau tidak diterima oleh orang lain.
Seorang individu harus memiliki persepsi diri yang baru dengan cara mengevaluasi ulang, memikirkan kembali penguasaan ilmu pengetahuan dalam bidang kurikulum. Persepsi diri ini melibatkan penilaian ulang atas kemampuan seseorang dan melepaskan kontrol atas orang lain dan lingkungan. Suatu implikasi tetap memerlukan pendekatan holistik terhadap pendidikan lingkungan dan penguasaan ilmu pengetahuan yang mempertimbangkan nilai – nilai, budaya, tujuan, dan kemampuan individu serta penilaian subjektif atas situasi eksternal.
Pendidikan nonformal sering digunakan secara bergantian dengan ”pendidikan lingkungan” karena istilah yang kedua tersebut sering dihubungkan dengan situasi/lingkungan belajar nontradisional. Dalam menggunakan istilah secara bergantian tersebut dilakukan terhadap pendidikan formal maupun nonformal.
Pendidikan nonformal mengacu kepada pendidikan yang dikendalikan oleh tujuan – tujuan pembelajar yang sering berpartisipasi berdasarkan pilihan. Pembelajaran berlangsung melalui aktivitas yang diorganisir oleh institusi atau badan yang membentuk tempat penyelenggaraan pendidikan. Dalam pendidikan lingkungan, banyak pendidikan yang berlangsung berupa pendidikan nonformal dalam kelompok remaja, klub – klub sosial dan layanan, tour, dan program – program lain ynag serupa.
Metode pembelajaran menggambarkan siap yang mengendalikan sarana untuk menerima informasi dan pembentukan tujuan – tujuan pembelajaran. Para pendidik formal dan nonformal tampaknya perlu sadar akan aturan metode yang ada, terutama metode – metode yang inheren terkait dengan lingkungan pembelajaran nontradisional.
Dalam menguji prinsip – prinsip dasar pendidikan nonformal, jelas bahwa proporsi yang besar dari pendidikan lingkungan berada pada jalur nonformal dan informal. Dengan merevisi prinsip –pinsip pendidikan nonformal adalah mungkin untuk menguji cara – cara yang dipakai pendidikan nonformal. Para pendidik memiliki tanggungjawab dalam menetapkan hasil, metode, situasi belajar, dan pembelajar dalam merancang penyelenggaraan belajar. Dalam pendidikan nonformal, rancangan pembelajaran para pendidik adalah pemegang peran utama; para pembelajar membawa tujuan mereka dan keinginan belajar yang kuat untuk belajar. Sering kali ketika para pendidik percaya bahwa mereka tahu tentang apa yang perlu untuk diajarkan kita mengurangi keefektifan belajar nonformal.
Belajar nonformal memberikan kesempatan kepada pendidikan untuk menggunakan proses belajar alamiah. Dengan mempertimbangkan bagaimana cara membuat belajar jadi aktif, atas kemauan sendiri, didorong dari dalam diri, dan sebuah proses pembentukan makna individu; pendidikan nonformal dapat menjadi landasan yang solid dalam teori yang bisa meningkatkan hasil belajar para peserta didik.