Welcome to My Blog



Do’a seorang muslim untuk saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan).Di sisinya ada malaikat yang bertugas.Setiap kali dia mendo'akan kebaikan untuk saudaranya,malaikat tersebut berkata : "Aamiin, dan engkau akan mendapatkan yang sama dengannya." [HR. Muslim 2733] Dengan mendo'akan kebaikan untuk saya,Insyaa Allah Anda akan mendapat kebaikan yang sama.

Kamis, 24 Juni 2010

Pengelompokkan Siswa di Kelas

BAB I
PENDAHULUAN

Praktik pengelompokkan siswa secara homogen cukup tersebar luas di Amerika Serikat, menggunakan sebuah model yang mengelompokkan para siswa yang memiliki kemampuan dan prestasi relatif sama dalam sebuah kelompok . Pada sekolah tingkat menengah atas, cara ini paling cocok untuk matematika, di mana para siswa ditempatkan dalam kelas – kelas matematika yang dipersiapkan untuk mereka yang akan melanjutkan ke sekolah kejuruan, sekolah umum atau pra-universitas. (McPartlan, Coldiron, & Braddock, 1987, Oakes, 1985, 1990a, 1990b; Slavin, 1990). Ini juga sesuai untuk tingkat SMP, di sekolah ini aljabar diberikan pada kelas delapan. (McPartlan, Coldiron, & Braddock, 1987, Oakes, 1985, 1990a, 1990b; Slavin, 1990). Menurut Studi Matematika Internasional Kedua (Second International Math Study = SIMS), pengelompokkan berdasarkan kemampuan lebih luas di Amerika daripada di negara – negara lainnya (Oakes, 1990a). Para siswa di level sekolah dasar mungkin dikelompokkan, meskipun pada level ini para siswa lebih sering dikelompokkan berdasarkan ukuran kemampuan atau prestasi yang bersifat umum daripada berdasarkan kemampuan atau prestasi matematikanya (Oakes, 1985, 1990a, 1990b; Slavin 1987a, 1987b).
Contoh kedua dimana para siswa dikelompokkan secara homogen adalah kelompok – kelompok kecil di kelas dimana anggota – anggotanya didasarkan pada kemampuan atau prestasi di dalam kelas tersebut. Ini adalah sebuah cara yang sudah lama digunakan dalam pembelajaran membaca di tingkat sekolah dasar selama bertahun – tahun. Para guru harus mengorganisir kelasnya dengan format yang sama untuk pembelajaran matematika (Oakes, 1990a; Slavin, 1987a, 1987b). Cara penempatan kelompok – kelompok kecil siswa menjadi kelompok atas, tengah atau kelompok bawah untuk pembelajaran matematika kurang begitu umum pada level SMP atau SMA di mana para siswa cenderung lebih sedikit melakukan kerja kelompok dalam kelompok – kelompok kecil dan dipisah – pisahkan berdsarkan kelas khusus (Slavin, 1990).
Cara – cara semacam ini tampaknya berakar pada keyakinan yang luas bahwa perbedaan intelektual anak adalah sedemikian besar sehingga para siswa dengan kemampuan atau prestasi yang berbeda perlu diajari dalam kelas – kelas atau kelompok – kelompok yang berbeda (Oakes, 1990a, 1990b). Namun sejumlah perhatian telah muncul tentang efek jangka panjang dari cara – cara pengelompokkan ini.


BAB II
RINGKASAN ISI BUKU


A. Efek Pengelompokkan Homogen dalam Matematika

1. Efek – Efek Terhadap Kesempatan untuk Mempelajari Matematika

Dalam sebuah studi yang dilakukan Yayasan Sains Nasional Amerika Serikat, mengenai cara di mana sistem pendidikan nasional memberikan kesempatan untuk mempelajari matematika dan sains, pertukaran data tentang program matematika dan sains, guru dan pembelajaran kelas pada sekolah dasar dan menengah di analisa (Oakes, 1990a). Data ini berasal dari hasil Survei Nasional tentang Pendidikan Sains dan Matematika (National Survey of Science and Mathematics Education = NSSME) yang dilakukan oleh Yayasan Sains Nasional. Sementara itu, sebuah analisis terhadap data ini menunjukkkan perbedan – perbedaan yang penting dalam hal kesempatan untuk belajar matematika diantara sekolah – sekolah, perbedaan – perbedaan yang penting juga ditemukan di dalam sekolah sendiri. Hal ini tampaknya berhubungan dengan cara – cara penempatan para siswa kedalam kelompok yang berbeda berdasarkan kemampuan, prestasi, atau karir yang diharapkan di masa depan. Laporan ini mengidentifikasi tiga bidang di mana ketidakmerataan dalam pembelajaran matematika ditemukan: (1) akses kepada program – program matematika; (2) akses kepada guru – guru matematika yang berkualifikasi bagus; dan (3) akses kepada kesempatan – kesempatan belajar.
Pada sebagian sekolah tingkat atas dijelaskan dalam studi tersebut, lebih sedikit kursus matematika yang tersedia atau diperlukan untuk siswa – siswa berkemampuan rendah. Kursus – kursus pra perguruan tinggi yang standar ditawarkan kepada para siswa yang dianggap memiliki kemampuan tinggi, lebih sedikit ditawarkan kepada siswa – siswa yang dipandang memiliki kemampuan rata – rata, dan jarang sekali ditawarkan kepada siswa – siswa yang dianggap berkemampuan rendah. Walau beberapa sekolah kerkemauan untuk mengubah kriteria penempatan siswa secara trasional untuk mendorong para siswa yang rendah prestasinya untuk lebih bersemangat dalam mengikuti kursus matematika. Studi juga menemukan bahwa sekolah – sekolah sering menempatkan guru – guru yang kualifikasinya rendah dalam matematika di kelas – kelas yang siswanya berkemampuan rendah serta menempatkan guru – guru yang berkualifikasi terbaik di kelas – kelas yang siswanya berkemampuan tinggi, khususnya di level sekolah menengah.
Akhirnya, studi menemukan bahwa sekalipun judul kursus matematikanya sama, tujuan – tujuan kurikuler yang diutamakan ole para guru dan strategi pembelajaran yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan – tujuan itu caranya berbeda yang menyebabkan tidak memadainya kesempatan untuk belajar matematika. Misalnya, ditemukan bahwa kelompok berkemampuan tinggi pada level sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas setahun lebih maju dalam kurikulum sekolah dibandingkan dengan kelompok siswa berkemampuan rendah. Ditemukan juga bahwa kursus – kursus level lebih rendah lebih sedikit melibatkan para siswa kepada topik – topik dan kecakapan matematika dan juga lebih sedikit topik dan kecakapan yang menantang. Kelompok – kelompok siswa berkemampuan tinggi umumnya mencakup bahan – bahan yang lebih kompleks dan melibatkan daya pikir yang lebih sulit serta tugas – tugas berbentuk problem-solving. Selain itu, para guru yang mengajar siswa berkemampuan tinggi melaporkan tentang lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk persiapan kelas, dan mereka nampak lebih antusias serta mau mendorong para siswanya untuk memperluas wawasan akademis dibandingkan guru – guru di kelompok siswa yang berkemampuan rendah. Para guru kelompok atas juga mengharapkan para siswanya untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk pekerjaan rumah daripada yang dilakukan oleh guru yang mengajar siswa kelompok rendah.
Perbedaan – perbedaan kualitatif yang serupa dalam pembelajaran matematika juga ditemukan dalam riset – riset yang lain. Misalnya, dalam sebuah penelitian pembelajaran matematika pada sekolah menengah di enam distrik yang berbeda ditemukan bahwa sebagian besar distrik tampak jelas adanya pengelompokkan siswa tersebut. Para siswa dengan kemampuan rendah menerima kurikulum yang lebih terbatas dan lebih sedikit terlibat dalam interaksi dengan guru. Kalau dibandingkan dengan para siswa di kelompok berkemampuan tinggi (Ekstrom & Villages, 1991). Penting untuk dicatat bahwa sekalipun dalam kelas yang sama, perbedaan pola interaksi antara guru dengan siswa berkemampuan tinggi dan yang berkemampuan rendah telah ditemukan. Berkenaan dengan pembelajaran matematika, sebuah studi kasus pada kelas khusus menunjukkan bahwa para siswa berkemampuan rendah menerima lebih sedikit waktu bersama guru dan diberi lebih sedikit jumlah pertanyaan yang berorientasi pada proses (Leder, 1987).

2. Efek – Efek pada Prestasi Matematika
Studi NSF yang dijelaskan terdahulu (Oakes, 1990a) tidak secara spesifik meneliti hubungan antara pengelompokkan dengan prestasi dalam sains atau matematika. Namun demikian, hasil substansial riset menyarankan bahwa pengelompokkan, terutama di tingkat sekolah menengah, secara umum gagal meningkatkan belajar dan memiliki konsekuensi yang tidak diperkirakan terhadap luasnya perbedaan prestasi antara siswa yang dinilai lebih mampu dengan siswa yang dianggap kurang (Cole & Griffin, 1987; Ecksstrom & Villegas, 1991; Gamoran and Berends; 1987 Slavin, 1987a, 1987b, 1990). Studi – studi yang meneliti efek pengelompokkan homogen terhadap prestasi cenderung menggunakan dua pendekatan: (1) perbandingan prestasi siswa dalam kelas homogen dengan siswa yang setara dalam hal kemampuannya atau (2) perbandingan prestasi siswa dalam kelompok yang kemampuannya berbeda. Perbedaan dalam desain riset yang dilaporkan ini adalah satu hal yang penting. Dengan diberikannya berbagai kesempatan untuk belajar matematika dalam kelompok yang berbeda – beda seseorang berharap untuk menemukan perbedaan – perbedaan dalam prestasi matematika sebagai akibatnya. Karena itu, tidak mengherankan bahwa perbedaan prestasi matematika yang ada hubungannya dengan pengelompokkan telah ditemukan bahkan pengontrollan tingkat kemampuan, staus sosial ekonomi, dan berbagai variabel yang lainnya (Gamoran & Berends, 1987).
Dalam review riset yang membandingkan prestasi siswa pada kelas – kelas homogen dengan siswa yang dikelaskan berdasarkan kemampuanya yang sebanding, hanya sedikit perbedaan prestasi yang ditemukan. Secara khusus, sebuah studi analisis tingkat tinggi yang meneliti efek pengelompokkan berdasarkan kemampuan terhadap prestasi pada sekolah menengah melaporkan bahwa perbandingan antara pengempokkan berdasarkan kemampuan dengan pengelompokkan heterogen dalam jangka waktu antara satu semester hingga lima tahun, efek prestasi secara keseluruhan yang ditemukan adalah nol pada semua level kelas (Slavin, 1990). Sebuah analisis serupa yang dilakukan pada para siswa sekolah dasar juga menunjukkan bahwa efek keseluruhan dari pengelompokkan berdasarkan kemampuan adalah tidak berarti (Slavin, 1987b). Kedua analisis tersebut menyangkal pernyataan yang sering kemukakan bahwa pengelompokkan berdasarkan kemampuan adalah bagus untuk siswa yang berprestasi tinggi dan buruk untuk siswa yang berkemampuan rendah.
Satu – satunya pengecualian yang menarik dari temuan ini adalah ketika para siswa dari kelas kelompok heterogen dikelompokkan ulang secara homogen berdasarkan skor prestasi membaca dan matematika untuk pelajaran pembelajaran membaca dan matematika (Slavin, 1987a, 1987b). Riset mencakup beberapa studi pengelompokkan ulang untuk pembelajaran matematika yang menunjukkan bahwa pengelompokkan homogen ulang memiliki efek yang positif pada prestasi matematika bila materi – materi yang tepat untuk level kemampuan siswa digunakan (Provus, 1960; Moris, 1969).

3. Efek Riset terhadap Cara – Cara Pengelompokkan

Meskipun temuan – temuan bahwa pengelompokkan secara homogen kelihatannya memiliki efek prestasi yang kecil, beberapa pengelompokkan bersikeras dilaksanakan di sekolah – sekolah umum, terutama pada level sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas:

Pada saat sebagian besar orang (termasuk banyak pendidik) beranggapan bahwa para siswa akan belajar lebih baik bila mereka dikelompokkan bersama dengan siswa yang berkemampuan sama, riset telah menunjukkan bahwa menempatkan anak – anak dalam kelas – kelas yang berbeda untuk mengakomodasi perbedaan mereka sejak awal tahun sekolah adalah tidak perlu dan tidak efektif. Pengelompokkan tidak berjalan baik bagi siswa yang berkemampuan rendah dan sedang, yang secara jelas mengalami situasi yang tidak menguntungkan dalam belajar. Kelompok juga tidak meningkatkan prestasi untuk anak – anak berkemampuan tinggi. Banyak studi menunjukkan bahwa para siswa berkemampuan tinggi belajar sama baiknya di kelas yang kemampuannya berbeda – beda (Oakes, 1990ยช hal. 6)

Oakes telah menyarankan bahwa ketetapan hati terhadap pengelompokkan di sekolah umum didasarkan pada beberapa asumsi: (1) bahwa siswa belajar lebih baik bila mereka dikelompokkan dengan siswa lain yang dianggap memiliki kesamaan akademis.; (2) bahwa siswa mengembangkan sikap lebih positif terhadap diri mereka sendiri dan sekolah bila mereka ditempatkan dalam kelompok – kelompok dengan siswa lain yang lebih mampu; (3) bahwa proses penempatan yang digunakan untuk memisahkan para siswa ke dalam kelompok – kelompok secara akurat menggambarkan prestasi masa lalu dan kemampuan bawaan; dan (4) bahwa ini dianggap lebih mudah bagi para guru untuk mengakomodasi perbedaan individu dalam kelompok – kelompok homogen (Oakes, 1985).
Kegigihan untuk melakukan pengelompokkan homogen menimbulkan masalah efek jangka panjang terhadap kaum wanita dan siswa dari kelompok minoritas, kedua kelompok yang kurang memiliki kemampuan dalam bidang matematika dan sains. Kecenderungan untuk menempatkan siswa minoritas pada kelompok siswa berkemampuan rendah telah dijelaskan oleh Cole dan Griffin (1987) dalam diskusi mereka tentang riset berdasarkan kemampuan:
Terdapat banyak laporan tentang perlakuan yang berbeda dalam pengelompokkan yang berdasarkan kemampuan yang dilaporkan oleh para peneliti yang telah meneliti interaksi kelas secara dekat.... Para peneliti melaporkan bahwa distribusi kelompok tinggi, sedang dan bawah tampaknya berkaitan dengan ciri – ciri yang diasosiasikan dengan SES: anak – anak dari keluarga berpenghasilan rendah atau single parent atau dari keluarga
pengangguran, lebih dikelompokkan kepada kelompok bawah. Karya yang dibuat ole Cicourel dan Kituse (1963) menyarankan bahwa anak – anak dari keluarga berpenghasilan rendah dengan skor tes dan peringkat yang rendah dapat dikelompokkan ke kelompok atas terutama karena intervensi orang tua. Temuan lain ... adalah bahwa anak – anak dari keluarga berpenghasilan rendah dengan skor tes yang cukup ditempatkan pada kelompok bawah, sedangkan anak yang berkemampuan sama yang berasal dari keluarga berpenghasilan sedang ditempatkan dalam kelompok sedang. (hal. 21).

Kaum wanita, karena kadang – kadang dipandang lemah dalam matematika atau karena kurang menunjukkan minatnya dalam matematika dan sains, mungkin juga ditempatkan secara tidak tepat pada kelompok bawah, terutama di level sekolah menengah (Oakes, 1990b). Penilaian terkini dalam prestasi matematika menyebutkan bahwa para pelajar di Amerika Serikat secara umum tidak bagus dalam matematika, terlalu banyak siswa, terutama kelompok minoritas dan perempuan, yang belajar matematika tingkat tinggi. Perbaikan literatur dalam pendidikan matematika berargumentasi tentang perlunya pendidikan matematika berkualitas untuk semua siswa. Dalam penjelasan praktik pembelajaran di kelas percontohan terdapat fokus yang kuat dalam keanekaragaman pendekatan. (NCTM, 1989, 1991; RAC, 1989). Tidaklah berlebihan kalau kita berharap bahwa sekolah – sekolah distrik mengadopsi pendekatan – pendekatan yang sesuai dengan rekomendasi terbaru untuk perbaikan pendidikan matematika dan bahwa cara pengelompokkan homogen tidak lagi dipandang sebagai sebuah keperluan.

B. Upaya – Upaya Perbaikan Terkini dalam Pendidikan Matematika
1. Proyek - Proyek Perbaikan Kurikulum
Proyek Matematik Berkoneksi (Connected Mathematics Project = CMP) di Unversitas Michigan adalah sebuah proyek Yayasan Sains Nasional (National Science Foundation = NSF) selama lima tahun untuk mengembangkan kurikulum matematika sekolah menengah yang kaya akan koneksi. Para siswa menyelesaikan masalah dengan mengobservasi pola – pola dan hubungan – hubungan, dengan demikian pemahaman matematika mereka semakin kuat. Kegiatan belajar melibatkan belajar menebak, mencoba, diskusi, mengungkapkan dengan kata – kata, dan menyimpulkan. Selain materi untuk para siswa, CMP juga mengembangkan materi untuk guru yang dirancang sedemikian rupa sehingga para guru dapat langsung belajar dari kegunaan materi tersebut dan mempelajari bahan – bahan penilaian yang merupakan perpanjangan dari proses belajar.
Petualangan Jasper Woodbury adalah sebuah video seri tentang penyelesaian empat masalah matematika yang dikembangkan oleh Grup Kognisi dan Teknologi di Universitas Vanderbilt, dengan bantuan dari NSF dan Yayasan James S. McDonnell. Teori yang melandasi karya ini menekankan pentingnya pengembangan pembelajaran yang bermakna, aktif dan sesuai dengan rekomendasi standar bahwa aplikasi problem-solving harus menjadi arah pembelajaran (NCTM, 1989).
Sebuah proyek NSF di Universitas Illinois, Chicago, Matematika Dengan Manuver (Manouvers With Mathematics = MWM), telah memproduksi sebuah seri buku lab siswa untuk melengkapi atau mengganti komponen – komponen kurikulum matematika sekolah menengah. MWM menyajikan masalah – masalah orisinil yang menantang pemikiran yang menggunakan tiruan benda – benda. Para siswa menyelidiki serangkaian aktivitas yang diurutkan secara cermat yang diarahkan pada penemuan langsung konsep – konsep matematika yang sering mengintegrasikan matematika dengan bidang – bidang lain.
Matematika dalam Konteks telah dibiayai oleh NSF untuk menciptakan kurikulum matematika sekolah menengah yang komprehensif yang merefleksikan muatan kurikulum dan pedagogi yang disarankan oleh Standar NCTM (1989,1991). Universitas Wisconsin, Madison dan Institut Freudenthal di Universitas Utrecht bekerja sama dengan para guru matematika sekolah untuk mengembangkan kukulum tersebut. Bahan – bahan ini akan mendukung upaya – upaya para guru untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki para siswa dengan gagasan – gagasan baru, menghubungkan pengetahuan konseptual dengan prosedural, dan menghubungkan matematika dengan bidang – bidang ilmu yang lain.
Proyek Pemikiran Kuantitatif (The Quatitative Reasoning Project = QRP) di Universitas Negeri San Diego adalah proyek yang dibiayai NSF yang meneliti perkembangan pemikiran aljabar para siswa di sekolah menengah dengan mengikuti pembelajaran yang menekankan pada pemikiran kuantitatif. QRP memiliki tujuan dalam tiga domain: pemahaman para siswa, pemahaman para guru, dan pengembangan materi. QRP mengidentifikasi bidang – bidang kurikulum matematika sekolah menengah yang dapat dimodifikasi untuk memungkinkan pembelajaran langsung tentang pemikiran kuantitatif dan untuk mengembangkan aktivitas – aktivitas serta masalah – masalah untuk mendukung pembelajaran semacam itu.
Sejak tahun 1983, Proyek Matematika Sekolah di Universitas Chicago (University of Chicago School School Mathematics Project = UCSMP), dibiayai oleh Amoco, General Electric, dan Carnegie Corporation, telah mengembangkan sebuah kurikulum mathematika sekolah menengah yang mencakup muatan yang luas dan menekankan pada aplikasi dunia nyata. Dengan memfokuskan pada pengetahuan prosedural dan konseptual, pemahaman siswa dikembangkan dalam empat domain/bidang: skills, konsep, applikasi dan gambaran – gambaran.

2. Proyek Peningkatan Guru
Beberapa proyek peningkatan gur diarahkan pada semua guru matematika dari tingkat kelas tertentu, sedangkan sasaran lainnya adalah guru – guru yang mengajar di sekolah – sekolah yang siswanya dari penduduk tertentu, seperti para siswa atau kelompok minoritas yang kurang sekali mendapat kursus matematika. Banyak guru sasaran proyek yang bekerja di daerah perkotaan.
ProyekDengan Fokus Umum. Proyek Matematika Atlanta (the Atlanta Math Project = AMP) di Universitas negeri Georgia adalah proyek yang dibiayai NSF yang berlangsung di 13 sekolah di daerah metropolitan Atlanta. AMP memberikan pengalaman pengetahuan kepada guru tentang belajar mengajar matematika sesuai dengan standar NCTM. Kegiatan proyek mencakup pengembangan profesional musim panas; dalam bentuk perencanaan, pengajaran, dan sesi – sesi singkat; mentoring teman sebaya.
Pengajaran untuk Ide Besar (Teaching to the Big Ideas= TBI) adalah proyek pengembangan profesional empat tahun yang melibatkan dewan pengajar dari Pusat Pengembangan Pendidikan, Mt. Holyeke College, Pusat Riset Pendidikan Teknik (the Technical Education Research Center = TERC), di mana para guru menyampaikan ide – ide besar dalam bidang matematika. Selama dua tahun pertama proyek tersebut, TBI akan mengikutkan para peserta ke dalam institut musim panas, pertemuan dwi mingguan sepulang sekolah, dan kunjungan kelas. Dua tahun terakhir akan menonjolkan institut musim panas, juga kursus selama setahun yang ditujukan kepada pengembangan para peserta sebagai guru – guru inti.
Proyek – Proyek Dengan Sasaran Penduduk Tertentu. Universitas Politeknik Negeri California di Pomona, bekerjasama dengan sekolah – sekolah distrik di California Selatan, menyelenggarakan program peningkatan guru yang disebut Pengajaran Terintegrasi Sains dan Matematika untuk Siswa – Siswa Sekolah Menengah Minoritas. Proyek tiga tahun ini menawarkan pengalaman pembelajaran langsung yang mengintegrasikan sains, matematika, dan metode pengajaran yang sesuai dengan Standar NCTM, standar sains baru, dan kerangka kerja negara bagian California yang tepat
Proyek Masalah Matematika adalah bantuan dana NSF selama empat tahun kepada Departemen Pendidikan Matematika untuk meningkatkan prestasi matematika dikalangan para siswa migran sekolah menengah. Proyek ini adalah sebuah program pengembangan profesional yang komprehensif yang mendorong para guru untuk berbagi pengalaman dengan rekan guru yang yang lain. Komponen utama proyek ini adalah matematika untuk peningkatan profesional para peserta, matematika untuk di kelas, strategi muatan dan manajemen, serta praktik penilaian.
Proyek Matematika Kota New York (the New York City Mathematis Project = NYCMP adalah proyek pengembangan dewan pengajar yang merespon terhadap masalah – masalah penting untuk penyediaan program matematika yang berkualitas untuk semua siswa di daerah perkotaan. NYCMP berupaya untuk menghasilkan kepemimpinan jaringan guru, percontohan lingkungan pembelajaran matematika di sekolah – sekolah perkotaan, serta sistem untuk mendukung pengembangan dewan pengajar. Empat tahap model pengembangan staf yang digunakan oleh NYCMP adalah kesadaran akan perlunya perubahan, pembuatan perubahan penting dalam praktik pengajaran, menjadikan guru inti, dan pengajaran dalam proyek.
Proyek IMPACT adalah sebuah kerjasama antara Universitas Maryland di College Park dan Sekolah Umum Kabupaten Montgomery. Sebagian dibiayai oleh IBM, proyek ini mengembangkan sebuah model untuk pembelajaran matematika sekolah dasar yang menekankan pemahaman siswa dan mendukung perubahan guru terutama yang mengajar di sekolah – sekolah minoritas. IMPACT adalah proyek berbasis sekolah yang mencakup program in-service musim panas, para ahli matematika setempat, bahan – bahan kelas inovatif, serta perencanaan matematika untuk semua guru pada masing – masing tingkatan kelas.
Pusat Pengembangan dan Riset Belajar di Universitas Pittsburgh telah melaksanakan program Pemahaman Kuantitative: Proyek Penguatan Pemikiran dan Prestasi Siswa ( Quantitative Understanding: Amplifying Student Achievement and Reasoning = QUASAR Project) dalam merespon masalah rendahnya tingkat partisipasi siswa dan tidak memadainya prestasi siswa dalam matematika. QUASAR menyoroti perlunya pelayanan sekolah bagi anak – anak yang secara ekonomi kurang beruntung, dengan menggunakan serangkaian prinsip – prinsip umum sebagai panduan untuk perbaikan dalam menyadari tentang pentingnya mengaitkan upaya – upaya perbaikan terhadap kondisi setempat. Praktik pembelajaran di semua tempat menambah penekanan pada wacana matematika, aplikasi matematika terhadap masalah – masalah yang bermanfaat bagi para siswa, dan penggunaan model fisik dan mental untuk menyediakan pijakan yang konkrit untuk prinsip – prinsip yang abstrak. QUASAR mencakup modifikasi dan pengembangan kurikulum, pengembangan staf, dan dukungan berkelanjutan kepada guru, desain penilaian berbasis sekolah dan kelas, serta dukungan orang tua dan masyarakat.

3. Proyek – Proyek Yang Melibatkan Perbaikan Kurikulum dan juga
Peningkatan Guru

Di Pusat Riset Pendidikan Universitas Wisconsin, Pembelajaran Dipandu secara Kognitif (Cognitively Giuded Instruction = CGI), sebagian didanai oleh NSF, menyusun lingkungan workshop di mana para guru mengumpulkan hasil – hasil temuan riset terhadap pemikiran matematika anak – anak untuk membantu pengajaran mereka. Hasilnya, masing – masing guru dapat menyusun lingkungan belajar matematika yang susuai dengan gaya, pengetahuan, keyakinan, dan para siswa mereka sendiri.
Di Universitas Delaware, sebuah proyek yang dibiayai NSF mengembangkan sebuah model untuk penerapan Standar NCTM. Tujuan proyek itu adalah untuk mengembangkan kekuatan matematika dalam diri para guru dan membantu mereka dalam menerapkan kurikulum sesuai standar di dalam kelasnya. Untuk mencapai tujuan ini, Proyek Peningkatan Guru Delaware berupaya meningkatkan pengetahuan guru tentang muatan matematika, pedagogi, dan kurikulum, serta untuk membantu mereka mengembangkan lingkungan sekolah yang kondusif.
Tujuan utama dari Pusat Belajar Matematika (Math Learning Center = MLC) di Universitas Negeri Portland adalah untuk mengembangkan materi – materi kurikulum dan pelatihan untuk guru – guru sekolah menengah yang berusaha untuk mengubah cara mengajarkan matematika di kelas mereka. Bahan – bahan MLC menekankan pemikiran visual, eksplorasi, dan percobaan. Pelatihan melibatkan guru – guru dalam aktivitas langsung yang menjadi model pembelajaran investigasi mandiri, pembelajaran kooperatif kelompok kecil, dan diskusi kelas.

4. Proyek – Proyek yang Terfokus pada Teknologi
Proyek Pra-Hitungan Computer dan Kalkulator (the Calculator and Computer Precalculus = C2PC Project) di Universitas Negeri Ohio telah menghasilkan sebuah kurikulum berbasis grafik komputer/kalkulator. Para siswa menggunakan daya visualisasi untuk menyelesaikan aplikasi realistis yang menarik melalui eksplorasi dan percobaan. Karena teknologi memungkinkan pembelajaran interaktif yang memasukkan guru ke dalam peran non tradisional, C2PC melaksanakan pelatihan untuk membantu para guru dalam gerakan di luar transmisi pengetahuan dalam pembelajaran terhadap fasilitasi pembelajaran.
Proyek Aljabar Intensif Komputer telah mempergunakan kesempatan untuk meningkatkan pembelajaran dalam aljabar dengan menggunakan komputer dan kalkulator. Dengan sokongan dari NSF kepada Universitas Maryland dan Universitas Negeri Pennsilvania, CIA telah mengembangkan kurikulum aljabar berbasis komputer yang menonjolkan model – model dan gagasan – gagasan aljabar, variabel dan fungsi sebagai konsep yang menyatu, serta keseimbangan antara pengetahuan konseptual dan prosedural dalam pembelajaran aljabar.
Karena CIA mengurangi penekanan kecakapan rutin dalam hal eksplorasi berbasis komputer, para guru harus memikul berbagai peran yang tidak biasa. Memberdayakan Para Guru dalam Lingkungan Pembelajaran Intensif dengan Komputer akan merancang serangkaian kursus dan praktik untuk mempersiapkan para guru dalam menerapkan kurikulum komputer intensif dengan cara meningkatkan pengetahuan muatan matematika mereka melalui kursus komputer intensif, pengembangan kemampuan untuk menilai dan menganalisa pemahaman siswa dalam lingkungan pembelajaran yang kaya dengan teknologi, membantu mereka melaksanakan riset di kelas mereka, dan memfokuskan perhatian pada masalah – masalah belajar mengajar dalam lingkungan belajar dengan komputer yang intensif.
Sebuah hasil dari proyek kerjasama -yang didukung NSF- antara SUNY di Buffalo, Universitas Negeri Kent, TERC, dan Universitas Massachusetts Bagian Tenggara adalah Geo-Logo, sebuah lingkungan Logo baru yang menekankan kedalaman eksplorasi terhadap masalah – masalah matematika, mendukung konstruksi abstrak dari visual, dan mendorong pemikiran prosedural terhadap pemahaman konseptual.
Proyek Grafik Aljabar yang Diperkuat Kalkulator- didanai NSF, Akademi Seni Interlochen, dan Texas Instruments – memulai dengan premis bahwa para siswa memiliki akses terhadap grafik kalkulator dan para guru memiliki kemampuan teknologi untuk demonstrasi kelas. Materi – materi kurikulum menampilkan lebih sedikit persoalan yang dianggap rumit, menekankan pada kelompok kerja yang kecil, analisi terhadap grafik, serta pengembangan konsep – konsep matematika dalam konteks dunia nyata yang bisa diperoleh oleh para siswa sekolah tinggi.
Proyek Kurikulum Kalkulus Universitas Negeri Oregon telah mengembangkan sebuah kurikulum yang menggunakan supercalculator (mis. HP-48SX) dan menekankan multi fungsi, interpretasi grafik, pemahaman konseptual, aplikasi dunia nyata, pemodelan matematika, dan penggunanaan teknologi yang cerdas dengan kesadaran penuh atas keterbatasannya.

5. Prakarsa Sistemik
Tahun 1992, NSF mulai mendanai Prakarsa – Prakarsa Sistemik Seantero Negeri (Statewide Systemic Initiatives = SSIs) untuk tujuan pengembangan pendidikan matematika dan sains. Beberapa SSIs menampilkan elemen – elemen perbaikan kurikulum dan peningkatan guru (mis. Prakarsa Sistemik untuk Matematika dan Sains Montana), sedang yang yang lainnya adalah proyek peningkatan guru sekolah dasar (mis. Ohio’s Project Discovery). Dimulai tahun pelajaran 1993 – 1994, NSF mendanai Prakarsa Sistemik Perkotaan (Urban Systemic Initiatives (USIs), untuk meningkatkan pendidikan matematika dan sains pada lingkungan khusus di sekolah – sekolah perkotaan.





BAB III
KESIMPULAN

Upaya – upaya untuk meningkatkan kemampuan para siswa dalam bidang matematika di Amerika Serikat sudah dilakukan sejak dahulu. Berbagai proyek dan program telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Pemerintah Amerika tidak segan – segan untuk mengeluarkan dana untuk melaksanakan berbagai proyek dan program tersebut demi meningkatnya mutu pembelajaran dan perbaikan kurikulum terutama kurikulum matematika. Proyek – proyek dan program – program tersebut tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah dan perguruan – perguruan tinggi akan tetapi juga oleh yayasan – yayasan (foundation).
Upaya – upaya perbaikan terkini dalam pendidikan matematika telah berakar sejak dekade 1980-an dan laporan – laporan nasional yang memfokuskan pada sebuah krisis di masa datang, terutama dalam bidang matematika dan sains. Badan Pendidikan Matematika dan Sains (Mathematical Sciences Education Board = MSEB, 1990) menegaskan bahwa program – program matematika sekolah dapat direvisi dan diperbaharui untuk mencapai standar Dewan Nasional Guru Matematika (National Council of Teachers of Mathematics = NCTM), mengembangkan kekuatan matematika para siswa, menggunakan kalkulator dan komputer, memilih aplikasi – aplikasi yang relevan, dan meningkatkan keterlibatan siswa.
Dalam konteks ini, lusinan orang memperbaiki upaya – upaya yang telah dimulai akhir – akhir ini. Banyak orang telah memfokuskan pada pengembangan kurikulum baru, yang lainnya memfokuskan pada peningkatan guru, sebagian lagi melakukan kedua – duanya. Sebagian lagi ada juga yang telah melaksanakan penggunaan teknologi dalam pembelajaran matematika sebagai tema sentral mereka.

Sabtu, 19 Juni 2010

Mengatasi Masalah di Kelas

BAB I
PENDAHULUAN

Kemampuan guru dalam pengelolaan kelas dipengaruhi pemahaman guru terhadap kedinamisan pengelolaan kelas yang efektif. Karena itu, tujuan dari makalah ini adalah untuk menjadikan anda mampu menghadapi masalah – masalah pengelolaan kelas secara efektif dengan membantu anda memahami secara lebih penuh mengenai dimensi manajemen pengajaran. Karena sampai saat ini belum ditemukan satupun pendekatan yang dianggap paling baik mengenai pengelolaan kelas, maka di sini akan dibicarakan delapan pendekatan yang berbeda yaitu: otoriter, intimidasi, permisif, buku koki (cookbook), instruksional, modifikasi tingkah laku, iklim sosioemosional, dan pendekatan proses kelompok.
Hal penting yang penulis ingin sampaikan adalah bahwa pengajaran akan jadi lebih efektif jika para guru memahami proses manajerial dan strategi manajerial yang menjadi ciri dari masing – masing pendekatan, serta jika anda mampu memilih dan menerapkan strategi – strategi manajerial tersebut.

A. Definisi

Sebuah pencaharian literatur tentang pengajaran menemukan sembilan buah definisi yang agak berbeda – beda mengenai pengelolaan kelas (classroom management). Kesembiloan difinisi tersebut berbeda karena masing – masing mewakili sebuah pandangan filsafat dan pendekatan operasional tertentu berkenaan dengan pengelolaan kelas.
Pendekatan otoriter (authoritarian approach), misalnya, memandang pengelolaan kelas sebagai proses pengontrolan tingkah – laku siswa. Dalam pendekatan ini, peran guru adalah membentuk dan mempertahankan ketertiban di dalam kelas. Penekanan utama adalah pada pemeliharaan ketertiban dan mempertahankan kendali melalui penggunaan disiplin. Sebenarnya, para pendukung posisi ini sering menganggap disiplin dan pengelolaan kelas sebagai dua istilah yang bersinonim.
Sudut pandang yang kedua, yang agak berkaitan dengan pendekatan otoriter – adalah pendekatan intimidasi (intimidation approach). Pendekatan ini juga memandang pengelolaan kelas sebagai proses mengontrol tingkah laku siswa. Namun tidak seperti pendekatan otoriter, pendekatan intimidasi tampaknya diprediksi dengan asumsi bahwa perilaku siswa sebaiknya dikontrol melalui penggunaan intimidasi tingkah laku guru seperti sindiran yang tajam, ejekan, penggunaan paksaan, ancaman, dan penolakan. Peran guru adalah mendorong/memaksa siswa untuk bertingkah laku seperti yang diinginkan oleh guru dan takut melakukan hal sebaliknya.
Sudut pandang yang ketiga yang sangat berlawanan dengan pendekatan intimidasi adalah pendekatan permisif (permissive approach). Bagi para pendukung pendekatan ini, peran guru adalah untuk memaksimalkan kebebasan siswa, untuk membantu mereka merasa bebas untuk melakukan apa yang mereka inginkan, kapan pun, di manapun mereka menginginkannya. Jika kita bertindak sebaliknya maka itu dianggap akan menghambat perkembangan alami mereka.
Tidak seperti pandangan lain yang didiskusikan di atas, pandangan yang keempat yaitu pendekatan buku koki (cookbook) atau “kantong triks” (bag-of-tricks), bukan berasal dari satu macam landasan psikologi atau teoritis yang baik secara konsep. Sebaliknya, pendekatan ini terdiri dari sebuah kombinasi dari cerita – cerita kuno, atau cerita rakyat dan akal sehat yang disajikan sebagai seperangkat resep yang harus diikuti oleh guru secara religius. Pendekatan buku koki paling sering ditampilkan dalam bentuk daftar “harus dan jangan” (do’s and don’ts) yang menerangkan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan sebagai reaksi terhadap berbagai situasi masalah. Pendekatan ini disebut pendekatan buku koki karena daftar ini mirip dengan resep yang terdiri dari langkah demi langkah yang harus dilakukan bila kita sedang membuat sesuatu; dan peran guru adalah untuk mengikuti resep tersebut.
Pendekatan yang kelima yaitu pendekatan instruksional (instructional approach), pandangan ini didasarkan pada dasar pemikiran bahwa pengajaran yang direncanakan dan dilaksanakan dengan cermat akan mencegah sebagian besar masalah perilaku siswa, dan akan menyelesaikan masalah – masalah itu bila sudah terjadi. Pendekatan ini mendukung penggunaan tindakan guru yang bersifat pembelajaran untuk mencegah atau menghentikan tingkah laku siswa yang tidak sesuai. Peran guru adalah merencanakan dan mengimplementasikan pelajaran – pelajaran ‘yang baik’ yang sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa, atau pelajaran yang memotivasi para siswa.
Prinsip – prinsip modifikasi tingkah laku memberikan landasan bagi pandangan yang keenam. Pandangan ini melihat pengelolaan kelas sebagai proses memodifikasi tingkah laku siswa. Peran guru adalah membantu perkembangan tingkah laku yang diinginkan dan mengeliminasi tingkah laku yang tidak diharapkan. Dengan kata lain guru membantu para siswa untuk belajar tingkah laku yang sesuai dengan menerapkan prinsip – prinsip yang berasal dari teori – teori penguatan (reinforcement).
Pandangan yang ketujuh, memandang pengelolaan kelas sebagai proses menciptakan sebuah iklim sosioemosional yang positif di dalam kelas. Asumsi pandangan ini adalah bahwa belajar akan maksimal dalam sebuah suasana kelas yang positif yang berasal dari hubungan interpersonal yang positif yakni hubungan guru dengan murid dan hubungan murid dengan murid. Diasumsikan juga bahwa guru adalah kunci dari hubungan – hubungan itu. Oleh karena itu, peran guru adalah mengembangkan iklim sosioemosional kelas yang positif melalui penciptaan hubungan interpersonal yang sehat.
Sudut pandang kedelapan menempatkan kelas menjadi sebuah system social di mana proses – proses kelompok adalah kepentingan yang utama. Asumsi dasarnya adalah bahwa pembelajaran berlangsung di dalam sebuah konteks kelompok. Oleh karena itu, sifat dan perilaku kelompok kelas dipandang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belajar, meskipun demikian belajar dilihat sebagai sebuah proses individual. Peran guru adalah membantu perkembangan dan operasional sebuah kelompok kelas yang efektif.
Kedelapan pandangan yang disajikan di atas menggambarkan delapan pendekatan pengelolaan kelas yang berbeda – beda. Masing – masing pendekatan memiliki pendukung dan pemakainya. Namun perlu untuk dicatat bahwa tidak ada satu pun dari delapan pendekatan manajerial ini telah terbukti sebagai pendekatan yang paling baik. Oleh karena itu anda tidak dianjurkan untuk mengadopsi hanya satu dari delapan pandangan yang menyandarkan pada satu pendekatan manajerial ini. Agaknya lebih baik anda mempertimbangkan untuk menerima definisi pluralistik dari istilah pengelolaan kelas ini. Definisi semacam ini memperluas jangkauan pendekatan dalam memilih strategi manajerial yang memiliki potensi untuk menciptakan dan memelihara kondisi yang memfasilitasi pembelajaran yang efektif dan efisien. Argumentasinya adalah hanya guru yang mengadopsi sebuah definisi operasional yang plural yang mampu memilih strategi manajerial yang cenderung paling efektif, disesuaikan dengan situasi – situasi tertentu. Pendekatan yang plural tidak mengikat guru kepada hanya satu perangkat strategi manajerial ketika dia berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi tersebut di mana para guru dapat mengajar dan para siswa dapat belajar. Guru bebas mempertimbangkan semua strategi yang mungkin dapat berfungsi dengan baik.
Sebuah definisi yang cukup luas untuk menggambarkan sebuah pendekatan yang plural boleh jadi seperti ini: manajemen kelas adalah seperangkat kegiatan yang digunakan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi kelas yang memfasilitasi pembelajaran yang efektif dan efisien.

B. Pengajaran dan Pengelolaan
Mengajar terdiri dari dua rangkaian kegiatan yang utama : pengajaran (instruction) dan pengelolaan (management). Aktivitas instruksional dimaksudkan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan – tujuan pendidikan tertentu para peserta didik. Mendiagnosa kebutuhan – kebutuhan para pembelajar, merencanakan pelajaran, menyajikan informasi, mengajukan pertanyaan, dan mengevaluasi kemajuan pembelajar adalah contoh – contoh kegiatan instruksional.
Kegiatan manajerial ditujukan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi di mana pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. Menghargai ketepatan waktu, mengembangkan hubungan guru-siswa, dan membentuk norma – norma kelompok yang produktif adalah contoh – contoh aktivitas manajerial. Tidak dapat disangkal, seringkali sulit untuk menentukan apakah sebuah perilaku pengajaran tertentu tergolong instruksional atau manajerial sebab keduanya biasanya kait – mengkait. Namun, penting kiranya untuk mencoba membuat perbedaan ini bila dihadapkan dengan masalah – masalah di kelas. Oleh karena pengajaran terdiri dari kegiatan instruksional dan manajerial, ini menyebabkan guru menghadapi kedua jenis masalah. Guru yang efektif harus mampu membedakan antara masalah – masalah instruksional yang menghendaki penyelesaian – penyelesaian instruksional dan masalah – masalah manajerial yang memerlukan solusi – solusi manajerial. Misalnya, membuat pelajaran lebih menarik adalah masalah instruksional, sedangkan menyelesaikan masalah anak yang menarik diri karena dia tidak diterima oleh teman sekelasnya, tergolong masalah manajerial. Ketidakmenerimaan dan penarikan diri adalah masalah manajemen dan memerlukan sebuah solusi manajerial.

C. Pentingnya Manajemen Kelas
Jika pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang ditujukan untuk memfasilitasi pencapaian siswa dalam tujuan – tujuan pendidikan secara langsung dan jika manajemen dirancang dengan maksud menciptakan kondisi di mana pembelajaran itu berlangsung, maka manajemen yang efektif adalah sebuah prasyarat penting bagi pembelajaran yang efektif. Jadi, logika sederhana bahwa mendukung dugaan bahwa manajemen kelas yang efektif adalah aspek penting dari proses belajar-mengajar.
Sejumlah besar riset menyatakan bahwa ada hubungan positif antara perilaku manajemen kelas guru tertentu dengan hasil belajar siswa, termasuk perilaku siswa, prestasi siswa, dan sikap siswa. Misalnya, literatur menunjukkan bahwa ; (1) menggunakan ”cara menghentikan yang lembut” yang merupakan sebuah strategi manajerial otoriter efektif dalam mengurangi penyimpangan perilaku siswa, (2) menerapkan reinforcement yang positif yang merupakan strategi manajerial modifikasi tingkah laku yang efektif dalam mendorong perilaku siswa yang benar, (3) mengkomunikasikan hal – hal positif yang tanpa syarat - sebuah strategi manajerial iklim-sosioemosional - efektif dalam mendorong norma – norma kelompok kelas yang produktif.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Empat Tahap Proses Manajemen Kelas Pluralistik-Analitik
Pada bagian terdahulu telah dibahas tentang definisi manajemen kelas yang memandang manajemen kelas sebagai sebuah proses yang terdiri dari serangkaian aktivitas yang digunakan guru sebagai sarana untuk membentuk dan mempertahankan kondisi yang memfasilitasi pembelajaran yang efektif dan efisien. Pada bagian ini akan diperluas dengan memberikan sebuah deskripsi dari manajemen kelas sebagai sebuah proses pluralistik-analitis di mana guru (1) menetapkan kondisi – kondisi kelas yang diharapkan, (2) menganalisa kondisi – kondisi kelas yang ada, (3) memilih dan menggunakan strategi – strategi manajerial, dan (4) menilai efektivitas manajerial.


1. Menetapkan Kondisi – Kondisi Kelas yang Diharapkan
Proses manajemen kelas memiliki maksud bahwa guru menggunakan berbagai strategi manajerial untuk mencapai sebuah tujuan yang ditetapkan secara jelas dan didefinisikan dengan baik – yakni penciptaan dan pemeliharaan kondisi – kondisi kelas tertentu yang dirasa guru akan memfasilitasi pembelajaran yang efektif dan efisien bersama dengan para siswanya. Konsekuensinya, langkah pertama dalam proses manajemen kelas yang efektif adalah penentuan kondisi – kondisi yang diidamkan oleh guru – penentuan kondisi – kondisi ”ideal”. Secara jelas guru harus mengembangkan sebuah konsep yang dapat diterapkan tentang kondisi – kondisi yang dia percayai akan memungkinkan dia mengajar secara efektif. Dalam melakukan hal tersebut, guru harus memahami bahwa kondisi – kondisi yang diidentifikasi sebagai kondisi yang diharapkan akan menggambarkan filosofi pribadinya. Selain itu, guru harus mengenali kebutuhan untuk menilai secara berkelanjutan kegunaan konsep – konsepnya dan untuk memodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi.

2. Menganalisa Kondisi – Kondisi Kelas Yang Ada
Setelah menentukan kondisi – kondisi kelas yang diinginkan, guru selanjutnya menganalisa kondisi – kondisi kelas yang ada untuk membandingkan situasi nyata dengan situasi ideal. Analisis semacam ini memungkinkan guru untuk mengidentifikasi (1) ketidaksesuaian antara kondisi yang ada dengan kondisi yang diinginkan dan memutuskan kondisi mana yang memerlukan perhatian segera, kondisi mana yang memerlukan perhatian belakangan, kondisi mana yang membutuhkan pemantauan.; (2) masalah – masalah potensial - ketidaksesuaian yang cenderung muncul jika guru gagal melakukan tindakan pencegahan; dan (3) kondisi – kondisi yang ada yang harus dipertahankan, didorong, dan diteruskan karena kondisi itu sesuai dengan yang diinginkan. Jadi, tahap yang kedua dari proses tersebut didasarkan pada asumsi bahwa guru yang efektif adalah guru yang ahli dalam menganalisa interaksi kelas dan terutama cepat tanggap terhadap apa yang terjadi di kelasnya : yaitu guru yang memiliki pemahaman yang cermat terhadap apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh para siswanya serta apa yang cenderung dilakukan oleh mereka. Dia sepenuhnya sadar akan ”apa yang terjadi”.

3. Memilih dan Memanfaatkan Strategi – Strategi Manajerial
Bila analisis guru terhadap kondisi – kondisi yang ada menyiratkan perlunya campur tangan, guru seharusnya berhati – hati memilih dan menerapkan strategi atau strategi – strategi, yang memiliki potensi paling besar untuk menjadi efektif dalam mencapai tujuannya. Guru yang efektif adalah guru yang memahami secara luas strategi – strategi manajerial yang disyiratkan oleh masing – masing pendekatan manajemen kelas, dan juga mampu untuk memilih dan menerapkan strategi atau strategi – strategi yang paling sesuai dengan situasi tertentu.
Proses pemilihan ini boleh jadi dianggap seperti sebuah ”pencaharian komputer” di mana guru mempertimbangkan strategi – strategi ”yang tersimpan” di dalam ”bank komputernya” serta memilih strategi mana yang paling menjanjikan dalam meningkatkan kondisi – kondisi yang diinginkan.


4. Menilai Efektivitas Manajerial
Pada tahap keempat proses manajerial, guru menilai efektivitas manajerialnya. Dari waktu ke waktu guru harus mengevaluasi sejauh mana tingkat keberhasilan upaya – upayanya dalam menciptakan dan memelihara kondisi – kondisi yang diinginkan – upaya – upaya yang ditujukan untuk mempersempit ’gap’ antara kondisi riil dengan kondisi ideal. Proses evaluasi ini terfokus pada dua perangkat tingkah laku: perilaku guru dan perilaku siswa. Dalam mengevaluasi perilaku guru, guru mengevaluasi tingkat keberhasilan perilaku manajerial yang dia gunakan atau yang ingin dia gunakan. Guru menilai apakah strategi manajerial yang dia gunakan paling mungkin untuk menghasilkan kondisi – kondisi yang diinginkan tersebut atau tidak. Sedangkan dalam mengevaluasi perilaku siswa, yang lebih penting dari yang pertama, guru mengevaluasi sejauh mana siswa – siswanya berperilaku sesuai dengan yang diinginkan. Dalam hal ini, penekanan utama terletak pada sejauh mana para siswa berperilaku secara benar. Data yang berhubungan dengan perilaku guru dan siswa mungkin dapat dikumpulkan dari tiga sumber : guru, siswa dan pengamat independen.

B. Mengidentifikasi Masalah – Masalah Instruksional dan Manajerial
Pada tahap kedua proses manajemen kelas pluralistik-analitik, guru menganalisa kondisi – kondisi kelas yang ada. Setelah mengidentifikasi kondisi kelas yang dia rasa sesuai dengan yang diinginkan, guru berusaha untuk menentukan sejauh mana kondisi itu hadir. Argumentasi yang dipakai di sini adalah bahwa guru yang efektif adalah guru yang mampu secara akurat menganalisa kondisi – kondisi kelas berdasarkan apa yang sedang terjadi, atau dengan kata lain guru yang efektif adalah guru yang setiap waktu mengetahui apa yang terjadi di dalam kelasnya.
Kadang – kadang sebuah analisis terhadap situasi yang ada tampak relatif sederhana. Dua orang siswa yang berkelahi karena berebut pensil, seorang siswa yang nyontek pada waktu ulangan, anak TK yang marah karena dia tidak duduk di barisan depan, dan seorang siswa yang melempar gulungan kertas kepada temannya boleh jadi merupakan masalah – masalah yang gampang dianalisa. Namun, kadang – kadang masalah yang muncul kompleks dan membutuhkan analisa yang hati – hati. Tujuan dari bagian ini adalah memberi anda beberapa panduan yang mungkin bermanfaat pada saat anda menganalisa kondisi kelas.

1. Masalah – Masalah Instruksional dan Manajerial
Pada umumnya, masalah – masalah instruksional memerlukan penyelesaian instruksional dan masalah – masalah manajerial membutuhkan penyelesaian manajerial. Oleh karena itu, langkah penting pertama dalam menganalisis masalah – masalah yang terjadi di dalam kelas adalah harus membedakan antara masalah – masalah instruksional dan masalah – masalah manajerial. Istilah manajerial digunakan secara luas. Masalah manajerial adalah berbagai keadaan di mana terdapat ketidaksesuaian antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang ada – berbagai keadaan di mana sebuah tujuan manajerial tidak tercapai. Selain itu, masalah – masalah manajerial juga meliputi: (1) masalah – masalah potensial – keadaan di mana ketidaksesuaian antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang ada mungkin muncul jika guru gagal melakukan pencegahan, dan (2) kondisi yang diinginkan - kondisi – kondisi di mana tidak ada ketidaksesuaian antara yang diharapkan dengan kondisi yang ada. Bila guru telah mengidentifikasi masalah manajerial, berikutnya dia harus mengidentifikasi tujuan – tujuan manajerial yang tidak tercapai. Proses ini memerlukan kemampuan guru dalam membedakan antara masalah instruksional dan masalah manajerial.
Berikut ini contoh masalah instruksional dan masalah manajerial yang mungkin akan anda temui di kelas.
a. Masalah instruksional. Johnny, murid kelas enam yang memiliki kemampuan rendah. Nilai akademisnya buruk; misalnya, dalam membaca dia dua tahun di bawah kemampuan yang seharusnya dan hampir satu tahun di bawah teman sebayanya. Gurunya, Ny. Miller menyebut di sebagai “ anak terburuk di kelasnya” dikarenakan dia terus berperilaku tidak baik. Johnny menolak mengerjakan tugas – tugasnya sendiri dan sering mengganggu siswa lain di kelas pada saat temannya tersebut sedang mengerjakan tugasnya masing – masing. Mrs. Miller merasa bahwa anak itu mampu mengerjakan pekerjaan yang sama seperti yang dilakukan anak – anak lain andaikata dia mau mempergunakan kemampuannya.

b. Masalah manajerial. Meskipun dia sudah delapan minggu sejak dia pindah dari sekolah lain, Barbara masih “anak baru di kelas”. Dia pindah pada pertengahan tahun ketika keluarganya pindak ke kota ini, akan tetapi dia belum menjadi anggota yang diterima di kelasnya. Dia kelihatan malu – malu dan menarik diri dari pergaulan. Gurunya, Mr. Johnson telah membuat sejumlah upaya untuk membawanya “keluar dari rumah kerangnya”. Mr. Johnson membentuk kelompok – kelompok kecil untuk mengerjakan proyek studi sosial, dan menempatkan Barbara dengan sebuah kelompok yang terdiri dari tiga orang anak wanita yang ramah tamah.

2. Masalah – Masalah Manajerial Kelompok dan Individu
Ada dua kategori utama masalah manajemen kelas yakni masalah individual dan masalah kelompok. Sebenarnya pengelompokkan ini agak berisiko karena masalah individu dan masalah kelompok sering saling berkaitan. Namun klasifikasi perlu dilakukan untuk memudahkan penanganan. Masalah individu memerlukan solusi individual dan masalah kelompok perlu solusi kelompok. Jadi langkah berikutnya dalam menganalisis masalah – masalah manajerial adalah membedakan antara masalah – masalah yang bersifat individu dan masalah – masalah yang bersifat kelompok.




3. Masalah – Masalah yang Memerlukan Perhatian dan Masalah – Masalah
yang Memerlukan Pemantauan.

Masalah – masalah manajerial yang memerlukan perhatian segera menghadirkan bahaya fisik atau psikologi atau bahaya potensial yang serius bagi siswa. Situasi ini menuntut guru untuk bertindak cepat. Ada situasi – situasi lain di mana guru merasa perlu bertindak cepat sehingga masalah yang relatif kecil tidak menjadi lebih serius. Sebuah perkelahian yang melibatkan dua siswa mewakili sebuah contoh tipe masalah yang memerlukan perhatian. Jadi guru dalam hal ini perlu bertindak cepat mengatasi masalah ini untuk meminimalisir bahaya fisik yang serius. Sebuah contoh di mana seorang siswa mengolok – olok siswa lain yang cenderung bereaksi secara kasar bila diprovokasi adalah contoh tipe masalah yang memerlukan pemantauan. – sebuah situasi di mana guru bergerak cepat untuk mencegah bahaya kecil menjadi bahaya besar. Di sini guru harus mengambil tindakan segera untuk mencegah kemungkinan reaksi yang kasar dari anak yang diejek itu. Sayangnya, batasan – batasan pasti yang dapat digunakan oleh guru untuk menentukan apakah situasi – situasi tertentu memerlukan perhatian khusus atau tidak. Walaupun perlu adanya upaya menjaga sesuatu agar jangan sampai tidak terkendali, namun perlu juga untuk menahan diri untuk tidak bertindak berlebihan terhadap masalah kecil yang mungkin akan hilang dengan sendirinya. Kemampuan untuk membuat penilaian yang tepat tentang hal ini memerlukan pengalaman. Berdasarkan pengalaman, lebih baik bertindak cepat daripada tidak. Dosa karena kelalaian cenderung berakibat lebih serius daripada dosa karena kepedulian.
Meskipun tujuan bagian ini untuk mendiskusikan proses analisis, namun pada tempatnya kiranya untuk berbicara lebih jauh tentang situasi – situasi yang memerlukan tindakan segera. Sebab situasi semacam ini memberi sedikit waktu pada guru untuk memikirkan strategi yang dia akan gunakan sehubungan dengan masalah tersebut sebab situasi seperti itu menimbulkan respons emosional yang kuat, yang cenderung mengakibatkan guru tidak efektif dalam menanganinya. Ada dua saran dalam mengatasi situasi semacam itu. Pertama, guru seharusnya mengembangkan perbendaharaan strategi “ yang sudah dikemas sebelumnya” yang dia bisa pakai pada saat berhadapan dengan situasi – situasi semacam itu. guru harus mencoba mengantisipasi masalah yang serius yang mungkin dia hadapi di sekolah, dan membuat peta strategi yang dia akan gunakan jika masalah semacam itu terjadi. Misalnya, guru harus mengantisipasi siswa yang terlibat dalam perkelahian.
Kedua, bila dihadapkan dengan sebuah situasi yang dirasakan dia perlu bertindak dengan cepat, guru seharusnya melakukan apa saja yang dapat dilakukan untuk memberi waktu berfikir. Misalnya, seorang guru yang berusaha untuk melerai dua orang siswa yang sedang berkelahi mungkin akan memberi waktu kepada guru dengan memisahkan mereka ke sudut yang berlawanan dalam ruangan itu, dengan instruksi bahwa masing – masing siswa yang berkelahi tersebut menuliskan tentang apa yang telah terjadi. Ini akan memberi waktu kepada guru untuk mengumpulkan pemikirannya, merencanakan langkah berikutnya yang harus diambil, dan meredakan emosi guru dan siswa. Tidak semua masalah dapat dipecahkan dengan cara mengulur waktu seperti itu, namun guru yang mampu melakukan hal itu akan jauh dari melakukan atau mengatakan sesuatu yang kemudian ia sesali.
Tidak semua masalah manajerial memerlukan tindakan guru yang segera. Kebanyakan masalah sebenarnya memberi waktu kepada guru untuk mempertimbangkan berbagai tindakan. Masalah – masalah yang memerlukan perhatian, tetapi bukan yang memerlukan perhatian segera, memberi guru kesempatan untuk melakukan analisis yang cermat. Dia mampu untuk mendiagnosa masalah dengan lebih akurat dan lebih bijaksana memilih sebuah strategi yang sesuai dengan masalah itu.
Misalnya, guru yang mendapati bahwa seorang anggota kelasnya tidak diterima oleh anggota kelas yang lain dihadapkan dengan masalah manajerial yang harus diselesaikan. Guru harus membantu siswa itu agar menjadi seorang anggota yang diterima di kelompok kelas, dan harus membantu kelompok untuk menerima siswa itu sebagai anggota kelompok. Selama beberapa hari, guru mungkin secara teliti mengamati dinamika yang kelihatan menghambat penerimaan siswa itu oleh teman – temannya. Setelah mengidentifikasi faktor – faltor dan strategi manajerial yang dia yakini akan mendorong penerimaan, guru menjalankan strategi yang memiliki potensi terbaik untuk menyelesaikan masalah itu. Implementasi strategi itu berlangsung sekitar dua bulan, selama jangka waktu itu guru memonitor pengaruh intervensinya. Sekitar sepuluh minggu sejak masalah itu ditemukan guru memastikan bahwa upayanya berhasil.
Kita telah melihat bahwa sebuah analisis terhadap kondisi – kondisi kelas yang ada dapat mengungkap masalah yang memerlukan perhatian segera dan perhatian kemudian.selain itu juga dapat mengungkap masalah – masalah berupa ketidaksesuaian antara kondisi yang ada dengan kondisi yang diinginkan. Guru tidak perlu melakukan intervensi terhadap masalah – masalah yang tidak mengganggu proses pembelajaran dan kelihatan tidak serius. Guru menentukan bahwa kesalahan tingkah laku yang kecil tidak mengganggu guru dan siswa dan oleh karenanya memilih untuk tidak mengambil tindakan untuk mengubah perilaku siswa itu. Namun guru tetap harus memonitor perilaku siswa tersebut. Bila perilaku itu mengarah kepada perilaku yang mengganggu maka guru harus mulai melakukan intervensi. Jadi, keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan adalah sebuah keputusan yang membutuhkan penilaian. Guru yang cepat tanggap terhadap dinamika kelas lebih cenderung membuat keputusan yang benar. Guru yang efektif adalah guru yang mengetahui kapan intervensi akan bermanfaat dan kapan intervensi itu tidak bermanfaat.begitu pula, manajer kelas yang efektif tahu kapan bergerak cepat mengenai masalah dan kapan harus bergerak lambat.


4. Masalah – Masalah Potensial
Proses analisis yang memungkinkan guru untuk mengidentifikasi masalah – masalah juga memungkinkan guru untuk mengidentifikasi masalah – masalah potensial. Argumentasi yang dipakai di sini adalah bahwa guru yang efektif adalah guru yang cakap dalam mengantisipasi masalah – masalah potensial; ketidaksesuaian antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang ada yang cenderung muncul jika guru gagal mengambil tindakan preventif. Tentu saja manajer yang efektif adalah manajer yang mampu untuk menanggapi masalah – masalah; namun dia juga mampu mengantisipasi masalah – masalah potensial serta bila perlu melakukan intervensi.
Sama halnya dengan masalah, sebagian masalah potensial menghendaki perhatian segera, sebagian memerlukan perhatian kemudian, dan sebagian memerlukan pemantauan.

5. Kondisi – Kondisi yang Diinginkan
Seperti halnya masalah dan masalah potensial, sebagian kondisi yang diinginkan memerlukan perhatian segera, sebagian memerlukan perhatian kemudian, dan sebagian lagi memerlukan pemantauan. Misalnya, jika seorang siswa yang sering berbicara tanpa mengacungkan tangan lalu pada suatu waktu anak itu mengacungkan tangannya dan menunggu di panggil, guru harus segera menguatkan perilaku yang tepat itu mungkin dengan cara memberi pujian. Ini adalah sebuah contoh di mana ini akan paling efektif bagi guru untuk bertindak segera. Guru harus melihat ini sebagai kondisi yang diharapkan yang memerlukan perhatian segera.
Perilaku yang tepat harus dihargai supaya tetap bertahan. Siswa yang menunjukkan perilaku yang tepat harus merasa bahwa upayanya itu dihargai. Hal ini sering tidak demikian. Banyak sekali perilaku yang tepat diabaikan dan dianggap biasa saja. Jadi, guru harus menyadari keberadaan kondisi yang diharapkan. Sebagian para pendukung pendekatan modifikasi tingkah laku mengatakan guru harus “ menangkap pesan bagus” yang sering terjadi justeru guru “menangkap pesan jelek”.

C. Ciri – Ciri Berbagai Pendekatan
Pada bagian terdahulu telah dibahas bahwa tahap ketiga dari proses manajerial analitis-pluralitis disebut sebagai sebuah “pencaharian dalam komputer” di mana guru memilih dan menerapkan strategi manajerial yang kelihatan paling potensial untuk menjadi strategi yang efektif dalam situasi tertentu. Perlu dicatat bahwa tahap ini menghendaki guru untuk memahami secara luas strategi manajerial yang disiratkan oleh masing – masing pendekatan manajemen kelas. Tujuan dari bagian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman anda tentang berbagai pendekatan dalam manajemen kelas.

1. Pendekatan Otoriter
Seperti dijelaskan di awal, pendekatan otoriter dalam manajemen kelas memandang proses manajerial sebagai sebuah pendekatan di mana perilaku siswa dikendalikan oleh guru. Pendekatan ini menempatkan guru dengan peran membentuk dan memelihara ketertiban di kelas melalui penggunaan strategi pengendalian, tujuan utama guru adalah untuk mengendalikan perilaku siswa. Guru memikul tanggungjawab untuk mengendalikan perilaku siswa karena guru ”paling tahu”. Guru adalah ”komandan”. Ini paling sering dilakukan dengan menciptakan dan menjalankan peraturan – peraturan dan tata tertib kelas.
Kita seharusnya tidak memandang strategi otoriter sebagai pendekatan yang menakutkan. Guru yang otoriter bertindak dengan cara yang terbaik. Pandangan yang paling baik mengenai pendekatan ini dijelaskan oleh Canter and Canter (1979), pendukung pendekatan yang mereka sebut sebagai ”disiplin yang tegas”. Canter and Canter berargumentasi bahwa guru memiliki hak untuk membentuk ekspektasi - ekspektasi, batasan – batasan, dan konsekuensi – konsekuensi yang jelas; menuntut perilaku yang bisa diterima dari para siswanya; dan mengikutinya dengan konsekuensi yang tepat bilamana diperlukan. Canter and Canter dengan sangat hati – hati menekankan bahwa disiplin yang tegas adalah sebuah pendekatan yang manusiawi. Mereka berargumentasi bahwa semua siswa membutuhkan batasan – batasan, dan guru memiliki hak untuk membuat dan melaksanakan batasan – batasan itu.
Walaupun ini sebuah penyederhanaan yang berlebihan, pendekatan otoriter menawarkan lima strategi yang mungkin bisa diharapkan sebagai perbendaharaan strategi manajerial bagi guru: (1) membuat dan menjalankan peraturan; (2) memberikan perintah – perintah, arahan – arahan, dan aturan – aturan: (3) menggunakan ”penghentian” yang lembuat; (4) menggunakan kendali kedekatan; dan (5) menggunakan pemisahan dan pengeluaran.

a. Membuat dan Menjalankan Peraturan
Proses pembuatan aturan adalah sebuah proses di mana guru menetapkan batasan – batasan dengan cara menyampaikan kepada siswa apa – apa yang diharapkan darinya dan alasan – alasan mengapa itu diperlukan. Jadi, ini sebuah proses yang secara jelas dan spesifik mendefinisikan harapan – harapan guru mengenai perilaku di kelas. Peraturan berupa pernyataan – pernyataan yang biasanya tertulis yang menjelaskan dan memberitahukan tentang perilaku – perilaku yang sesuai dan tidak sesuai bagi siswa. Peraturan dirumuskan secara garis besar yang menjelaskan perilaku – perilaku siswa yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima: tujuannya adalah untuk memandu dan membatasi perilaku siswa. Peraturan sebaiknya diketahui oleh siswa sehingga mereka tahu persis harus di mana posisi mereka. Para siswa memiliki hak untuk tahu tentang ”aturan main”. Selain itu mereka memiliki hak untuk mengetahui konsekuensi – konsekuensi yang akan dia terima apabila melanggar peraturan itu. Para pendukung pendekatan otoriter bersikukuh bahwa guru seharusnya membuat dan menjalankan peraturan yang realistis, masuk akal, jelas, jumlahnya tidak terlalu banyak, dapat dipahami dengan mudah, dan peraturan itu harus dilaksanakan sejak hari pertama masuk sekolah. Mereka menegaskan bahwa tidak ada kelompok yang bisa bekerja dengan sukses tanpa perilaku – perilaku standar yang dibuat yakni aturan – aturan yang dibuat dan dilaksanakan. Banyak rekomendasi yang telah dibuat tentang pembentukan peraturan – peraturan kelas. Mengingat keterbatasan ruang di sini hanya akan dipilih dua macam rekomendasi saja. Yang pertama berkaitan dengan perlunya ada keterlibatan para siswa dalam pembuatan peraturan itu. Yang kedua berkaitan dengan jumlah peraturan yang harus dibuat. Ada banyak pendapat mengenai keterlibata siswa dalam pembuatan aturan. Pendapat yang saling berlawanan adalah (1) para siswa sebaikya memiliki peran penting dalam membuat peraturan karena mereka lebih cenderung mentaati peraturan yang telah dibuat oleh mereka sendiri sedangkan peran guru adalah membimbing upaya – upaya siswa untuk mengembangkan peraturan – peraturan yang bagus; dan (2) guru seharusnya membuat peraturan sebab guru bukan siswa memiliki tanggung jawab untuk menentukan perilaku siswa yang mana yang bisa diterima dan yang mana yang tidak, sedangkan peran siswa adalah mengikuti aturan – aturan itu, bukan membuatnya.
Ada pendapat lain yang berada diantara dua pendapat yang saling bertentangan tadi yang kelihatan paling menarik yaitu guru pertama – tama harus menetapkan sejumlah peraturan yang tidak bisa ditawar – tawar atau dinegosiasikan dan kemudian baru bekerjasama dengan siswa untuk menambahkan peraturan – peraturan tambahan yang dianggap perlu. Pandangan ini juga memasukkan pendapat yang paling menarik tentang jumlah peraturan yang dibuat: Guru harus berusaha untuk membuat peraturan se minimal mungkin. Argumentasinya adalah lebih sedikit peraturan cenderung lebih daripada banyak aturan sebab jumlah peraturan kelas yang banyak membuat penerapannya lebih sulit. Bila peraturan – peraturan dalam keadaan tidak terlaksana, maka kemampuan guru untuk mengelola kelas menjadi berkurang. Jadi, guru seharusnya membuat peraturan dengan jumlah yang masuk akal agar aturan – aturan itu dapat diterapkan.

b. Membuat Tata Tertib
Penerapan tata tertib adalah strategi manajerial otoriter yang ketiga yang didiskusikan di sini. Sebuah tata tertib adalah sebuah pernyataan yang dibuat oleh guru untuk memberitahu siswa tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jelas tata tertib sangat diperlukan oleh guru untuk membuat siswa melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Bahkan dalam sebuah kelas yang paling demokratis pun, guru perlu mengeluarkan tata tertib. Para pendukung strategi otoriter ini menegaskan bahwa penggunaan tata tertib yang jelas dan yang dapat dipahami dengan mudah akan menjadikan kelas terhindar dari berbagai masalah pengelolaan kelas.



c. Menghentikan Dengan Lembut
Berbagai rekomendasi telah dibuat tentang penerapan peraturan kelas. Secara umum, rekomendasi – rekomendasi ini telah mencakup bentuk – bentuk hukuman dari yang lembut hingga keras. Banyak yang mendukung pandangan otoriter mengakui bahwa tipe hukuman yang keras terbukti tidak efektif dalam lingkungan kelas. Namun mereka memandang bahwa bentuk hukuman yang lembut/ringan terbukti efektif. Literatur – literatur menyatakan bahwa penggunaan hukuman yang lembut/ringan adalah strategi yang efektif untuk membantu siswa yang menunjukkan bentuk perilaku yang kecil – yang tidak mengerjakan tugas. Mereka yang mendukung penggunaan strategi ini mengingatkan bahwa hukuman yang ringan/halus dimaksudkan untuk menolong dan bukan sikap bermusuhan.hukuman – hukuman itu berupa perilaku verbal atau non verbal yang dimaksudkan untuk memberitahu, bukan untuk mendakwa.

d. Menggunakan Kendali Kedekatan
seorang guru mungkin disebut menggunakan kendali kedekatan bila dia bergerak lebih dekat kepada siswa yang oleh guru terlihat berperilaku salah atau kepada siswa yang hampir berperilaku salah. Tindakan semacam ini didasarkan pada asumsi bahwa kehadiran guru akan menyebabkan siswa menahan diri dari berperilaku salah. Kendali kedekatan dimaksudkan untuk menghindarkan situasi – situasi yang mengganggu atau berpotensi mengganggu: bukan dimaksudkan untuk menghukum atau menakut – nakuti.

e. Menggunakan Isolasi dan Eksklusi (Pengeluaran)
Isolasi, eksklusi (pengeluaran), pemberian skorsing, hukuman kurungan, pengasingan dan bentuk – bentuk pengasingan yang lain adalah strategi yang perlu dipertimbangkan penggunaannya sebagai sebuah respons terhadap perilaku menyimpang yang serius. Wallen and Wallen ( 1978) menyebut isolasi sebagai “ultimate punishment” atau hukuman yang paling akhir, bentuk hukuman paling keras yang diperbolehkan.

2. Pendekataan Manajemen Kelas Intimidasi
Pendekatan manajemen kelas intimidasi telah dijelaskan sebagai sebuah pendekatan yang memandang manajemen kelas sebagai proses mengendalikan perilaku siswa. Tidak seperti pendekatan otoriter, yang menekankan pada penggunaan perilaku guru yang ramah, pendekatan intimidasi menekankan penggunaan perilaku guru untuk mengintimidasi yaitu bentuk hukuman yang keras seperti sarkasme, ejekan, paksaan, ancaman, kekuatan,dan celaan. Peran guru dipandang sebagai seseorang yang memaksa siswa untuk berperilaku menurut keinginan guru.
Meskipun strategi intimidasi digunakan secara luas, banyak penulis yang telah menulis dalam bidang manajemen kelas menyatakan bahwa mereka percaya pendekatan intimidasi tidak akan dapat dijalankan. Mereka menyatakan bahwa evaluasi yang objektif tentang strategi manajerial intimidasi mengarah pada kesimpulan bahwa sebagian besar pendekatan itu tidak efektif. Penggunaannya biasanya hanya memberi solusi yang bersifat temporal yang diikuti oleh masalah lebih besar, masalah yang paling serius sebagai akibat dari penggunaan pendekatan ini adalah sikap permusuhan siswa dan rusaknya hubungan interpersonal guru-siswa. Hasil terbaik yang bisa diperoleh dari pendekatan intimidasi hanya berkaitan dengan gejala – gejala masalah, bukan dengan masalahnya itu sendiri.


3. Pendekatan Manajemen Kelas Permisif
Pendekatan manajemen kelas permisif menekankan kepada perlunya untuk memaksimalkan kebebasan siswa. Tema utamanya adalah bahwa guru harus mengizinkan siswa untuk melakukan apa yang mereka inginkan kapanpun dan di manapun mereka inginkan. Peran guru adalah meningkatkan kebebasan siswa dan karena itu membantu meningkatkan perkembangan alamiah mereka. Intinya, guru diharapkan untuk melakukan campur tangan sedikit mungkin. Guru harus mendorong siswa mengungkapkan dirinya secara bebas sehingga mungkin mereka mencapai potensi mereka secara penuh. Pendekatan permisif hanya memiliki sedikit pendukung.
Banyak yang berpendapat bahwa pendekatan permisif dalam bentuknya yang ”murni” tidak produktif dalam lingkungan sekolah dan kelas. Karena dengan pendekatan ini siswa memiliki kesempatan untuk melakukan apa yang ingin dilakukannya sendiri. Seolah – olah mereka memiliki kebebasan secara psikologis untuk melalukan tawar – menawar terhadap aturan yang diterapkan, sedangkan disiplin dapat diharapkan atas tanggung jawabnya sendiri.

4. Pendekatan Manajemen Kelas Buku Koki
Pendekatan ini berbentuk rekomendasi – rekomendasi yang dianggap sebagai obat untuk penyakit – penyakit manajerial. Gambaran tentang pendekatan buku koki biasanya terdiri dari daftar hal – hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh guru ketika dihadapkan kepada berbagai macam masalah manajemen kelas. Daftar ini umumnya ditemukan dalam artikel – artikel seperti yang berjudul “Tiga puluh Cara untuk Memperbaiki Perilaku Siswa.” Karena daftar ini sering kelihatan berupa resep – resep yang cepat dan mudah, maka pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan buku koki. Berikut contoh macam – macam pernyataan yang mungkin ditemukan dalam daftar semacam itu:
- Tegurlah selalu siswa secara pribadi (empat mata).
- Jangan sekali – kali meninggikan suara ketika sedang memperingatkan seorang siswa.
- Tegas dan jujurlah kala berhubungan dengan siswa.
- Pastikan selalu bahwa siswa bersalah sebelum menghukumnya.
- Pastikan bahwa seluruh siswa mengetahui semua tata tertib dan peraturan yang anda buat.
- Harus selalu konsisten dalam menerapkan aturan.
Karena pendekatan buku koki bukan berasal dari landasan yang dikonsepsikan secara baik, maka pendekatan ini kurang memiliki konsistensi. Pendekatan buku koki cenderung menyebabkan seorang guru jadi reaktif dalam berhadapan dengan manajemen kelas. Dengan kata lain, guru yang menggunakan pendekatan buku koki biasa bereaksi terhadap masalah – masalah yang spesifik dan menggunakan solusi – solusi jangka pendek. Padahal akan lebih efektif kalau bersikap proaktif, untuk mengantisipasi masalah – masalah, dan menggunakan solusi – solusi jangka panjang. Pendekatan buku koki tidak mendorong berkembangnya jenis perilaku manajerial ini.
Kesulitan lain dalam penerapan pendekatan buku koki adalah ketika “resep” itu gagal mencapai tujuan yang diharapkan, guru tidak bisa mencobakan pilihan – pilihan lain karena pendekatan buku koki bersifat absolut. Guru yang melaksanakan kerangka dari pendekatan buku koki menempatkan dirinya pada posisi yang tidak menguntungkan dan cenderung jadi tidak menjadi manajer yang efektif. Guru yang bijaksana menempatkan nilai di atas pendekatan – pendekatan dan strategi – strategi manajerial yang konseptual, dia tidak akan mengikuti resep – resep secara membabi buta.

5. Pendekatan Manajemen Kelas Instruksional
Pendekatan manajemen kelas instruksional didasarkan pada anggapan bahwa pembelajaran yang dirancang dan diimplementasikan dengan cermat akan mencegah sebagian besar masalah dan akan menyelesaikan masalah – masalah yang tidak bisa dicegah. Pendekatan ini memiliki argumentasi bahwa manajemen yang efektif dihasilkan dari perencanaan pembelajaran yang berkualitas tinggi. Jadi peran guru adalah merencanakan secaga cermat “pelajaran – pelajaran yang baik” yakni tugas – tugas yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masing – masing siswa, menyediakan kesempatan bagi masing – masing siswa untuk berhasil, meraih dan memelihara ketertarikan masing – masing siswa, dan memotivasi setiap siswa. Moto mereka yang mendukung pendekatan manajerial instruksional adalah, “Buatlah pelajaran – pelajaran anda jadi menarik”.
Para pendukung pendekatan instruksional cenderung memandang perilaku guru dalam pembelajaran memiliki potensi untuk mencapai dua tujuan manajerial yang penting yaitu: (1) mencegah masalah – masalah manajerial, dan (2) menyelesaikan masalah – masalah manajerial. Dasar argumentasinya adalah bahwa aktivitas – aktivitas pembelajaran yang direncanakan dan dilaksanakan dengan baik memberi kontribusi besar pada pencegahan masalah – masalah manajerial dan sedikit memberi kontribusi pada penyelasaian masalah – masalah manajerial. Selain itu, terdapat banyak sekali dukungan terhadap anggapan bahwa aktivitas – aktivitas pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan secara tidak baik berkontribusi besar pada munculnya masalah – masalah manajerial. Namun, terdapat sedikit bukti yang mendukung pernyataan bahwa aktivitas pembelajaran efektif dalam menyelesaikan masalah – masalah manajerial yang sudah terjadi.
Sebuah pengujian terhadap argumentasi – argumentasi yang dibuat oleh para pendukung pendekatan instruksional menyarankan agar guru sebaiknya mempertimbangkan strategi – strategi manajerial berikut: (1) menyediakan kurikulum dan pengajaran yang menarik, relevan dan tepat; (2) memakai manajemen perpindahan yang efektif; (3) membentuk kebiasaan – kebiasaan kelas; (4) memberikan arahan – arahan yang jelas; (5) menggunakan penambah daya tarik; (6) menyediakan pertolongan rintangan; (7) merencanakan perubahan – perubahan lingkungan; (8) merencanakan dan memodifikasi lingkungan kelas; dan (9) merestrukturisasi situasi.

1. Menyediakan Pengajaran dan Kurikulum yang Menarik, Relevan, dan
tepat
Davis (1974) menyatakan bahwa sebuah kurikulum yang direncanakan dengan baik yang diimplementasikan oleh guru yang baik yang menyajikan sebuah topik belajar sehingga topik itu menjaga ketertarikan siswa secara tradisi telah dianggap sebagai sebuah penghambat perilaku kelas yang menyimpang. Kounin ( 1970) telah melaporkan temuan – temuan riset yang terutama relevan dengan topik ini. Dia menemukan bahwa kunci manajemen kelas yang efektif adalah kemampuan guru untuk menyiapkan dan melaksanakan pelajaran yang mencegah kurangnya perhatian, kebosanan, dan penyimpangan tingkah laku. Dia menemukan bahwa guru – guru yang berhasil adalah guru yang mengajarkan pelajaran – pelajaran yang dipersiapkan dengan baik dan melalui langkah – langkah baik pula, meminimalkan terjadinya kebingungan dan kehilangan fokus,tidak memboroskan waktu dalam mengalihkan siswa dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain, serta menyediakan aktivitas kerja yang diarahkan kepada kemampuan – kemampuan dan dan minat siswa.
2. Menggunakan Manajemen Perpindahan yang Efektif
Manajemen pengalihan yang efektif ditunjukkan oleh guru yang mampu mengalihkan siswa secara “smooth” dari satu aktivitas ke aktivitas (lembut) berikutnya serta mempertahankan momentum yang ada dalam sebuah aktivitas. Kemampuan mengatur aliran dan langkah – langkah aktivitas tersebut dipandang oleh banyak orang sebagai hal yang penting dalam mencegah siswa terlepasnya siswa dari tugas yang sedang diikutinya.
Kounin juga menemukan bahwa guru – guru yang yang tidak berhasil adalah guru yang tidak dipersiapkan secara memadai dan karenanya tidak mampu menunjukkan kelembutan dan momentum; mereka menunjukkan hentakan dan perlambatan. Mereka tidak mengalihkan siswa secara lembut dari satu aktivitas ke aktivitas berikut, dan juga tidak memelihara momentum aktivitas. Sebaliknya, mereka menunjukkan perilaku – perilaku yang menimbulkan hentakan yang mengagetkan.

3. Membentuk Kebiasaan – Kebiasaan (Rutinitas) Kelas
Proses pembentukan rutinitas kelas adalah sebuah proses di mana guru membantu siswa memahami apa yang harus mereka lakukan mengenai aktivitas – aktivitas yang secara umum biasa dilakukan. Penjelasan yang jelas tentang harapan – harapan guru mengenai rutinitas kelas dipandang sebagai tahap penting pertama dalam mengelola kelas yang efektif dan dalam mengembangkan kelompok kelas yang produktif. Pembentukan rutinitas kelas adalah sebuah proses yang meminimalisir potensi terjadinya masalah.

4. Memberikan Arahan/Petunjuk yang Jelas
Sejumlah penulis menekankan pentingnya memberikan petunjuk – petunjuk/arahan yang jelas dan singkat. Long dan Fyre (1977) berpendapat bahwa instruksi – instruksi yang jelas dan singkat adalah penting untuk meningkatkan perilaku – perilaku yang diharapkan. Penulis lain mengatakan bahwa petunjuk/arahan seharusnya jelas, tepat dan singkat, langsung pada yang dimaksud (to the point), dan berurutan. Manajer kelas yang efektif memberikan petunjuk yang dapat dipahami secara jelas, “Silahkan buka bukumu pada halaman yang ada soal – soal yang dijadikan PR” lebih cenderung menciptakan masalah daripada guru yang berkata,”Silahkan buka buku matematikamu halaman 47 untuk melihat enam soal yang kemarin dijadikan PR.” Jelaslah bahwa para siswa lebih cenderung melakukan apa yang yang diminta guru apabila guru mengkomunikasikan perintahnya dengan jelas tentang apa yang harus mereka kerjakan. Memberikan instruksi – instruksi yang jelas berkontribusi pada manajerial yang efektif sebab hal itu membantu menghindari masalah yang diakibatkan oleh petunjuk – petunjuk yang buruk.

5. Menggunakan Penambah Daya tarik
Menambah daya tarik adalah sebuah proses di mana guru melakukan upaya – upaya tertentu untuk menunjukkan ketertarikan yang sungguh – sungguh pada pekerjaan siswa ketika siswa para siswa mulai menunjukkan kebosanan atau kegelisahan. Guru mungkin menghampiri siswa tersebut, melihat pekerjaannya, memuji usaha yang dilakukan anak itu, dan menganjurkan untuk meneruskannya. Dengan cara ini guru membantu para siswa untuk terus bersama pekerjaannya dan mencegah perilaku yang salah.

6. Menyediakan Pertolongan untuk Menghadapi Hambatan
Bantuan untuk menghadapi hambatan adalah sebuah bantuan yang diberikan oleh guru untuk menbantu siswa menghadapi masalah – masalah yang membuat frustasi ketika siswa benar benar membutuhkan bantuan itu untuk menghindari agar anak itu tidak berhenti dari pekerjaannya. Bantuan diberikan sebelum situasi berada di luar kendali. Bantuan ini akan bermanfaat terutama untuk mencegah perilaku yang menyimpang.

7. Merencanakan Perubahan – Perubahan Lingkungan
Tulisan –tulisan tentang manajemen kelas menyatakan bahwa untuk meminimalisir masalah – masalah manajerial, guru seharusnya mengantisipasi perubahan – perubahan lingkungan tertentu dan mempersiapkan kelompok kelas untuk menghadapi itu. Misalnya, para siswa sebaiknya dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan seorang guru pengganti bila guru utama tidak hadir. Perencanaan tentang kemungkinan di masa datang membantu para siswa mengetahui harus seperti apa mereka berperilaku sebelum terjadinya kemungkinan situasi yang mengganggu, sehingga masalah manajerial dapat dicegah.
8. Merencanakan dan Memodifikasi Lingkungan Kelas
Sejumlah penulis telah menunjukkan tentang pentingnya lingkungan kelas yang penuh keceriaan dan keteraturan, yakni lingkungan kelas yang diorganisir untuk memaksimalkan produktivitas dan meminimalkan perilaku yang salah, dan lingkungan kelas yang didesain dengan baik dalam hal penempatan siswa. Para penulis ini menekankan perlunya merencanakan dan memodifikasi lingkungan kelas untuk mencegah atau mengeliminasi macam – macam perilaku tertentu yang tidak bisa diterima.

9. Merestrukturisasi Situasi
Perestrukturisasian situasi adalah sebuah strategi manajerial di mana guru melalui penggunaan petunjuk singkat - satu atau paling banyak dua kalimat untuk memulai sebuah aktivitas baru atau menyebabkan sebuah aktivitas lama dilakukan dengan cara yang berbeda. Perubahan aktivitas, perubahan fokus perhatian, atau penemuan – penemuan cara baru melakukan sesuatu tampaknya akan efektif dalam mencegah masalah – masalah manajerial, terutama masalah – masalah yang diakibatkan oleh rasa bosan.

6. Pendekatan Manajemen Kelas Modifikasi Tingkah Laku
Seperti telah didiskusikan terdahulu, pendekatan manajemen kelas modifikasi tingkah laku di dasarkan pada prinsip – prinsip yang berasal dari psikologi behavioristik. Prinsip utama yang mendasarinya adalah bahwa tingkah laku itu dipelajari. Hal ini berlaku baik untuk tingkah laku yang benar maupun tingkah laku yang salah. Para pendukung pendekatan modifikasi tingkah laku menyatakan bahwa seorang siswa bertingkah laku salah karena dua alasan: (1) siswa itu telah belajar untuk berperilaku salah; atau (2) siswa itu tidak belajar untuk berperilaku yang benar.
Pendekatan modifikasi tingkah laku dibangun di atas dua asumsi utama yaitu: (1) ada empat proses dasar yang mencakup belajar, dan (2) sebagian besar belajar itu dipengaruhi oleh peristiwa – peristiwa dalam lingkungan. Jadi tugas utama guru adalah menguasai dan menerapkan empat prinsip dasar belajar yang telah diidentifikasi para pakar psikologi behavioristik yang dianggap mempengaruhi tingkah laku manusia. Keempat prinsip dasar tersebut adalah penguatan yang positif (positive reinforcement), hukuman (punishment), pemunahan (extinction), dan penguatan yang negative (negative reinforcement).



1. Penggunaan Penguatan Positif, Hukuman, Pemunahan dan Penguatan
Negatif

Terrence Piper (1974) seperti di kutip oleh Weber,memberikan sebuah penjelasan yang mudah dipahami tentang empat proses dasar. Dia menyatakan bahwa bila seorang siswa bertingkah laku, maka perilakunya itu diikuti oleh sebuah konsekuensi. Dia berargumentasi bahwa hanya ada empat kategori konsekuensi yaitu: (1) bila sebuah ‘reward’ diberikan, (2) bila hukuman diberikan, (3) bila ‘reward’ ditiadakan, (4) bila hukuman ditiadakan. Pemberian reward disebut penguatan positif, dan pemberian hukuman disebut punishment. Peniadaan ‘reward’ disebut pemunahan (extinction atau time out). Peniadaan hukuman disebut penguatan negatif.
Kaum behaviorism berasumsi bahwa frekuensi perilaku tertentu tergantung pada sifat konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut. Penguatan positif, pemberian reward setelah sebuah perilaku terjadi, menyebabkan perilaku itu meningkat frekuensinya. Perilaku yang diberi reward diperkuat dan diulangi pada waktu yang akan datang.
Menurut Buckley dan Walker(1970), waktu dan frekuensi penguatan dan hukuman adalah prinsip paling penting dalam modifikasi tingkah laku. Perilaku siswa yang sesuai dengan yang diharapkan guru harus segera diberi penguatan segera setelah perilaku itu terjadi, begitu pula perilaku siswa yang tidak sesuai dengan harapan guru harus segera diberi hukuman begitu perilaku itu terjadi. Perilaku baik yang tidak segera diberi penguatan cenderung akan melemah, dan perilaku salah yang tidak segera diberi hukuman cenderung akan semakin kuat. Jadi, ketepatan waktu pemberian reward dan punishment adalah penting. “Lebih cepat lebih baik” harus menjadi motto bagi guru yang ingin memaksimalkan efektivitas manajemen mereka.
Hal yang sama berlaku juga untuk frekuensi penguatan tingkah laku. Penguatan yang terus – menerus, penguatan yang mengikuti setiap perilaku, mengakibatkan perilaku belajar yang cepat. Jadi, kalau guru ingin memperkuat perilaku siswa tertentu, dia harus memberi penghargaan setiap kali perilaku itu terjadi. Penguatan yang terus menerus akan efektif terutama pada tahap awal penguasaan perilaku tertentu, bila perilaku itu sudah mapan, akan lebih efektif untuk melakukan penguatan secara sekali – kali (intermittent).
Menurut Weber ada dua pendekatan penguatan intermittent yaitu jadwal interval (interval schedule) dan jadwal rasio ( ratio schedule). Penguatan jadwal interval adalah penguatan di mana guru memberi penguatan kepada siswa setelah jangka waktu yang ditentukan, misalnya setiap jam. Penguatan jadwal rasio adalah penguatan di mana guru memberi penguatan kepada siswa setelah sebuah perilaku terjadi beberapa kali, misalnya ketika perilaku itu telah terjadi untuk yang keempat kalinya. Jadwal interval paling baik untuk mempertahankan agar sebuah perilaku konsisten dari waktu ke waktu, sedangkan jadwal rasio paling baik untuk menghasilkan jumlah perilaku yang lebih sering terjadi.
Dengan menggunakan definisi, reward atau penguat adalah berbagai stimulus yang meningkatkan frekuensi perilaku yang mendahuluinya, dan hukuman (punishment) adalah sesuatu yang menurunkan frekuensi perilaku yang mendahuluinya, berbagai penulis yang berbeda mengklasifikasikan penguat dengan cara berbeda – beda. Namun ada kesepakatan umum bahwa penguat (reinforcer) mungkin diklasifikasikan ke dalam ke dalam dua kategori besar yaitu: (1) penguat primer (primary reinforcer), yang tidak dipelajari dan yang diperlukan untuk bertahan hidup (misalnya, makanan, air, dan kehangatan); dan (2) penguat yang dikondisikan (conditioned reinforcer), yang dipelajari (seperti, pujian, kasih sayang, dan uang). Penguat yang dikondisikan ada beberapa tipe, mencakup penguat sosial, yakni penghargaan tingkah laku oleh orang lain di dalam sebuah konteks sosial (misalnya, pujian atau tepuk tangan), penguat tanda penghargaan (token reinforcer) – secara intrinsik bukan barang untuk penghargaan namun dapat ditukar untuk menjadi penghargaan nyata (misalnya uang atau chek yang dapat dibelikan perlengkapan sekolah), dan penguat aktivitas yakni penghargaan berupa aktivitas yang ditawarkan kepada para siswa ( seperti bermain di luar, waktu bebas untuk membaca, atau diizinkan untuk memilih lagu).
Guru harus berhati – hati dalam memilih sebuah penguat yang sesuai dengan siswa tertentu. Karena penguat sangat tergantung pada pribadi siswa. Jadi penguat yang terbaik adalah penguat yang dipilih oleh siswa. Givener dan Graubard menyarankan tiga metode untuk mengidentifikasi penguat yang berorientasi pada individu yaitu: (1) mencari petunjuk mengenai kemungkinan penguat dengan cara mengamati apa yang suka dilakukan siswa; (2) mencari petunjuk tambahan dengan cara mengobservasi perilaku apa (perilaku guru atau temannya) yang tampak memperkuat perilaku dia; (3) mencari petunjuk tambahan dengan cara menanyai siswa tentang apa yang mereka ingin lakukan pada waktu bebas, apa yang ingin mereka miliki.
Para guru yang merasa bahwa penghargaan adalah hal yang penting akan menghargai perilaku siswa yang baik dengan berbagai cara. Mulai dengan cara menepuk punggung hingga penghargaan yang tertulis. Sebagian besar guru mengetahui bahwa pujian dan pemberian semangat adalah bentuk penguat sosial yang dahsyat. Berikut ini beberapa strategi untuk melakukan penguatan.



a. Menggunakan Pemodelan (Modeling)
pemodelan adalah sebuah proses di mana siswa memperoleh perilaku – perilaku baru tanpa dirinya sendiri terlibat langsung dengan konsekuensi dari perilaku itu. Pemodelan sebagai sebuah strategi manajerial bisa dipandang sebagai sebuah proses di mana guru mendemonstrasikan sendiri tindakannya, nilai dan perilaku – perilaku yang dia inginkan dari para siswa.

b. Menggunakan Pembentukan (Shaping)
Pembentukan adalah sebuah prosedur di mana guru meminta siswanya untuk melakukan serangkaian perilaku yang mendekati perilaku yang diinginkan. Setiap kali siswa melakukan perilaku yang hampir sesuai dengan yang diinginkan, guru memberi penguatan kepada siswa hingga siswa secara konsisten mampu melakukan perilaku yang diharapkan. Jadi, shaping adalah sebuah strategi modifikasi yang digunakan untuk memdorong berkembangnya perilaku – perilaku baru.

c. Menggunakan Sistem Koin Ekonomi (Economy token)
Sistem biasanya terdiri dari tiga elemen yang dimadsudkan untuk mengubah perilaku siswa, yaitu: (1) seperangkat instruksi yang ditulis secara cermat yang menjelaskan perilaku siswa yang akan di-reinforce oleh guru, (2) sebuah sistem yang ikembangkan dengan baik untuk menghadiahkan koin – koin kepada siswa yang menunjukkan perilaku – perilaku yang telah ditentukan dan dianggap tepat, dan (3) seperangkat prosedur yang memungkinkan siswa menukar koin – koin yang telah dia dapatkan dengan “hadiah” atau kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan tertentu. Implementasi sistem koin memerlukan waktu dan energi yang banyak di pihak guru. Akibatnya, penggunaannya secara umum hanya dipakai bila sejumlah siswa di kelas berperilaku salah dan guru berusaha untuk mengubah perilaku para siswa itu secara cepat. Sebuah sistem koin ekonomi yang dikembangkan dengan baik bisa menjadi sebuah sarana yang efektif untuk memodifikasi perilaku kelompok siswa.

d. Menggunakan Sistem Kontrak Darurat
Sistem kontrak darurat atau perjanjian perilaku adalah sebuah kesepakatan yang dinegosiasikan antara guru dan siswa yang berperilaku salah, menentukan perilaku – perilaku yang telah disetujui oleh siswa untuk tidak ditunjukkan dan apa – apa konsekuensi yang akan terjadi jika perilaku itu dilakukan. Kesepakatan juga berisi apa yang diharapkan dilakukan oleh siswa, dan apa reward yang akan diberikan oleh guru untuk perilaku tersebut. Sistem kontrak cenderung agak memakan waktu dalam prosesnya. Karena itu, sistem ini biasanya dipilih dalam keadaan di mana seorang siswa menunjukkan perilaku menyimpang yang serius dan tidak digunakan secara rutin.

e. Menggunakan Pemantauan Diri Sendiri
Pemantauan diri sendiri adalah sebuah strategi di mana siswa mencatat beberapa aspek dari perilakunya untuk memodifikasi perilaku itu. Pemantauan diri sendiri secara sistematis meningkatkan kesadaran siswa atas perilaku yang dia ingin kurangi atau ingin dia hilangkan. Pemantauan diri sendiri meningkatkan kesadaran diri sendiri melalui pengamatan diri sendiri.

f. Menggunakan Konseling Tingkah Laku
Konseling perilaku adalah sebuah proses yang melibatkan pertemuan secara pribadi antara guru dan siswa. Pertemuan dimaksudkan untuk membantu siswa yang berperilaku menyimpang atau perilakunya tidak tepat. Argumentasinya adalah bahwa pertemuan semacam itu membantu siswa untuk memahami hubungan antara tindakannya dengan akibat yang ditimbulkannya.

g. Menggunakan Isyarat, Anjuran, dan Sinyal
Sebuah isyarat (cue) adalah anjuran atau tanda – tanda verbal maupun nonverbal sebagai pengingat yang diberikan oleh guru ketika dia merasa bahwa siswa perlu diperingatkan baik karena berperilaku dengan cara tertentu atau mencegah dari perilaku tertentu. Jadi, isyarat (cue) dapat digunakan untuk mendorong atau mencegah sebuah perilaku tertentu.

Setelah secara singkat membicarakan tentang penggunaan reward, sekarang marilah kita beralih kepada dilema yang dihadapi oleh para pendukung pendekatan modifikasi tingkah laku yakni penggunaan hukuman untuk mengeliminasi perilaku yang salah. Ini adalah bahan yang menjadi kontraversi yang jauh dari penyelesaian. Sementara tampaknya setiap penulis memiliki pandangan yang agak berbeda, terdapat tiga pendapat yang tampaknya menonjol yaitu: (1) penggunaan hukuman yang benar sangat efektif dalam menghilangkan perilaku siswa yang salah, (2) penggunaan hukuman yang bijaksana dalam situasi terbatas dapat memiliki efek jangka pendek yang diharapkan pada anak namun resiko efek sampingan negatifnya harus dimonitor dengan cermat, dan (3) penggunaan hukuman harus dihindari sama sekali sebab perilaku menyimpang siswa dapat ditangani secara efektif dengan teknik lain yang tidak memiliki potensi efek samping yang negatif dari hukuman tersebut.
Banyak penulis menyajikan pandangan orang lain daripada pandangannya mereka sendiri; namun Sulzer dan Mayer membantu para pembaca menguji kenuntungan dan kerugian dari penggunaan hukuman. Mereka mengidentifikasi kentungan – keuntungan dari penggunaan hukuman sebagai berikut: (1) hukuman dapat segera menghentikan perilaku siswa yang dihukum; dan mengurangi terjadinya perilaku itu untuk jangka waktu yang lama; (2) hukuman adlalah bersifat informasi bagi siswa karena itu membantu siswa untuk membedakan dengan cepat antara perilaku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima, (3) hukuman bersifat instruksi bagi siswa karena hukuman mungkin akan mengurangi kemungkinan anggota kelas yang lain meniru perilaku yang dihukum tersebut. Sedangkan kekurangannya meliputi: (1) hukuman mungkin disalahinterprestasikan, misalnya siswa yang dihukum karena berbicara bukan pada gilirannya mungkin berhenti merespons meskipun itu gilirannya untuk berbicara; (2) hukuman mungkin menyebabkan siswa yang dihukum menarik diri sama sekali; (3) hukuman mungkin menyebabkan siswa yang dihukum menjadi agresif; (4) hukuman mungkin menghasilkan reaksi yang negatif dari teman – teman anak yang dihukum tersebut, misalnya siswa melakukan perilaku yang tidak diharapkan (seperti ejekan atau rasa simpati) terhadap siswa yang dihukum; (5) hukuman mungkin menyebabkan siswa yang dihukum menjadi bersikap negatif tentang dirinya sendiri atau tentang situasi; misalnya hukuman mungkin melunturkan rasa berharga dirinya atau menghasilkan sikap negatif terhadap sekolah.
Dalam mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari penggunaan hukuman, Sulzer dan Mayer menyimpulkan bahwa prosedur alternatif untuk mengurangi perilaku siswa seharusnya dipertimbangkan. Mereka menyatakan bahwa prosedur hukuman pelaksanaannya harus disertai dengan kehati - hatian dan efeknya harus dimonitor dengan cermat. Mereka juga menyarankan agar guru mengantisipasi dan bersiap – siap menangani berbagai konsekuensi negatif yang mungkin timbul.
Para pakar behaviouristik juga menunjuk kepada riset yang menyatakan bahwa hukuman sebagian besar tidak efektif digunakan dalam kelas dan menegaskan penentangannya. Banyak pakar behaviouristik berargumentasi bahwa guru yang efektif adalah guru yang mampu memodifikasi perilaku siswa yang tidak sesuai melalui strategi lain daripada dengan hukuman; mereka mendukung penggunaan pemunahan dan jeda. Beberapa strategi lain yang juga didukung mencakup overcorrection, response cost, negative practice, satiation, dan fading.

a. Menggunakan Overkoreksi (Overcorrection)
Overkoreksi adalah sebuah bentuk hukuman yang lembut/ringan di mana guru meminta siswa yang melakukan kekacauan untuk memperbaiki keadaan kepada kondisi yang lebih baik daripada yang ada sebelumnya.

b. Menggunakan Harga Sebuah Jawaban (Renponse Cost)
Response Cost adalah sebuah prosedur di mana sebuah penghargaan tertentu dihilangkan menyusul sebuah perilaku yang tidak sesuai. Guru menyusun aturan – aturan kelas sehingga sebuah harga tertentu berupa ‘denda’ dikenakan atas perilaku tertentu. Siswa yang melakukan perilaku yang tidak sesuai harus membayar denda dengan menggunakan hadiah/penghargaan yang sudah didapatkannya.


c. Menggunakan Praktik Negatif (Negative Practice)
Negative practice adalah sebuah proses ddi mana siswa yang melakukan perilaku yang tidak diinginkan diminta oleh guru untuk mengulangi perilaku itu hingga perilaku itu mendapat hukuman. Para pendukung strategi ini menganjurkan para guru untuk menggunakan cara ini hanya untuk menghilangkan perilaku – perilaku yang tidak sesuai yang dapat diulangi tanpa menyebabkan kesalahan atau gangguan tambahan.

d. Menggunakan Kejenuhan (Satiation)
Kejenuhan atau kejemuan adalah proses penyajian sebuah stimulus penguat sedemikian sering sehingga tidak lagi diinginkan dan menjadi ditentang. Suatu penguat tertentu yang diberikan secara berlebih sehingga efektivitas penguat itu jadi hilang. Pada situasi serupa, seorang guru bisa mendesak dengan tegas seorang siswa yang melakukan perilaku yang salah untuk melanjutkan perilaku salah itu hingga dia merasa capek melakukannya.

e. Menggunakan Pemudaran (Fading)
Pemudaran (fading) adalah sebuah proses di mana guru secara bertahap menghilangkan tanda – tanda untuk jenis perlaku tertentu. Stimulus yang menguatkan yang awalnya disediakan, secara bertahap dihilangkan hingga siswa bisa melakukan perilaku yang diinginkan tanpa bantuan.

7. Pendekatan Iklim Sosioemosional Dalam Pengelolaan Kelas

Pendekatan iklim sosioemosional dalam pengelolaan kelas memiliki akar dalam konseling dan psikologi klinis, konsekuensinya, pendekatan ini sangat menekankan pentingnya hubungan – hubungan interpersonal. Pendekatan ini berasumsi bahwa pengelolaan kelas yang efektif dan juga pembelajaran yang efektif merupakan sebagian besar fungsi dari hubungan guru-siswa yang positif. Para pendukung pendekatan iklim-sosioemosional menekankan bahwa guru adalah penentu utama hubungan interpersonal dan iklim kelas. Konsekuensinya, tugas manajerial utama guru adalah membangun hubungan interpersonal yang positif dan meningkatkan iklim –sosioemosional yang positif.
Banyak gagasan yang menggambarkan ciri – ciri pendekatan iklim-sosioemosional yang berdasarkan karya Carl Rogers (1969). Premis utamanya adalah bahwa fasilitasi belajar yaang signifikan adalah merupakan kualitas yang berhubungan dengan sikap tertentu yang terdapat dalam hubungan interpersonal antara guru (sebagai fasilitator) dan siswa (sebagai pembelajar). Rogers telah mengidentifikasi beberapa sikap yang dia percayai sebagai sikap yang esensial jika guru harus memiliki pengaruh yang maksimal dalam memfasilitasi belajar. Sikap – sikap tersebut adalah : apa adanya, keikhlasan, kesesuaian, penerimaan, penghargaan, kepedulian, kepercayaan dan pemahaman empati.

a. Sikap Nyata (Apa Adanya)
Sikap nyata (apa adanya) dipandang oleh Rogers sebagai sikap yang paling penting yang dapat ditunjukkan guru dalam memfasilitasi belajar. Sikap tersebut adalah sebuah ungkapan guru untuk menjadi dirinya sendiri; yaitu guru sadar akan perasaan – perasaannya, menerima dan bertindak atas dasar perasaan – perasaan itu, serta mampu mengkomunikasikan perasaan – perasaan tersebut pada saat yang tepat. Perilaku guru adalah sama dengan perasaan – perasaannya.
Rogers menegaskan bahwa sikap apa adanya memungkinkan guru untuk dipersepsi oleh siswa sebagai orang yang real, orang yang dapat diajak berkomunikasi. Jadi, pembentukan hubungan – hubungan interpersonal dan iklim sosioemosional yang positif diperkuat oleh kemampuan guru untuk menunjukkan sikap apa adanya sesuai dengan kenyataan. Ungkapan yang tulus tentang antusiasme dan rasa bosan adalah contoh umum tentang sikap apa adanya.

b. Sikap Penerimaan
Penerimaan adalah sikap kedua yang dipandang penting oleh Rogers bagi para guru yang berhasil dalam memfasilitasi belajar. Penerimaan menunjukkan bahwa guru memandang siswa sbagai orang yang berharga. Penerimaan adalah ungkapan yang berbasis rasa percaya, - percaya bahwa siswa dapat dipercaya. Tingkah laku yang mau menerima membuat siswa merasa diterima dan dihormati, hal seperti itu memperkuat perasaan diri berharga. Melalui penerimaan, guru menunjukkan kepercayaan diri dan percaya akan kemampuan dan potensi siswa. Dampaknya, guru yang peduli, menghargai, dan mempercayai para siswa, memiliki kesempatan yang jauh lebih besar dalam menciptakan iklim sosioemosional untuk mendorong belajar dibandingkan dengan guru yang gagal melakukan hal tersebut.

c. Sikap Pemahaman Empati
Pemahaman empati adalah sebuah ungkapan tentang kemampuan guru untuk memahami siswa dari sudut pandang siswa. Sikap ini adalah sebuah kesadaran sensitif tentang perasaan – perasaan para siswa, dan sikap ini tidak bisa dievaluasi dan dinilai. Ungkapan – ungkapan empati terlalu jarang di dalam kelas. Ketika ungkapan empati digunakan para siswa merasa bahwa guru memahami apa yang sedang dia pikirkan dan dia rasakan. Rogers berargumentasi bahwa pemahaman empati yang disampaikan secara jelas mampu meningkatkan kemungkinan hubungan – hubungan interpersonal yang positif, sebuah iklim sosioemosional, akan mempengaruhi belajar secara signifikan.
Rogers menyimpulkan ada kondisi – kondisi tertentu yang memfasilitasi belajar, dan yang paling menonjol dari semua ini adalah kualitas sikap dari hubungan – hubungan interpersonal antara guru dengan siswa. Dia mengidentifikasi tiga sikap yang penting dalam proses pembentukan hubungan itu: sikap apa adanya, penerimaan dan empati.
Ginott (1972) telah menyampaikan pandangan yang serupa dengan pandangan Rogers. Tulisannya juga menekankan pentingnya kesamaan, penerimaan, dan empati, serta memberi sejumlah contoh tentang bagaimana sikap – sikap ini dapat dimanifestasikan oleh guru. Selain itu, Ginott telah menekankan pentingnya komunikasi yang efektif dalam meningkatkan hubungan – hubungan yang positif antara guru dan siswa. Bagaimana cara guru berkomunikasi dipandang sebagai sesuatu yang menentukan.

8. Pendekatan Manajemen Kelas Proses Kelompok
Pendekatan proses kelompok dikenal juga dengan sebutan pendekatan sosiopsikologi –yakni pendekatan yang berdasarkan pada prinsip – prinsip psikologi sosial dan dinamisasi kelompok. Premise utama yang mendasari pendekatan proses kelompok didasarkan pada asumsi – asumsi berikut: (1) pendidikan yang diterima di sekolah berlangsung dalam sebuah konteks kelompok yakni kelompok kelas, (2) tugas utama guru adalah menciptakan dan memelihara sebuah kelompok kelas yang efektif dan produktif; (3) kelompok kelas adalah sebuah sistem sosial yang mengandung sifat – sifat umum bagi semua sistem, dan kelompok kelas yang efektif ditandai oleh kondisi – kondisi tertentu yang sesuai dengan sifat – sifat tersebut; dan (4) tugas guru dalam manajemen kelas adalah membentuk dan memelihara kondisi – kondisi yang demikian.sementara itu. Ada beberapa ketidaksepakatan yang berhubungan dengan kondisi – kondisi yang menjadi ciri kelompok kelas yang efektif dan produktif, anda akan mempelajari kondisi – kondisi yang dijelaskan dalam tiga sumber yang hebat: karya Schmuck and Schmuck, Johnson and Bany, serta Kounin. Pertama – tama mari kita fokus pada enam sifat yang diidentifikasi oleh Schmuck and Schmuck (1979) mengenai manajemen kelas: ekspektasi (expectations), kepemimpinan (leadership), daya tarik (attraction), norma – norma (norms), komunikasi (communication), dan keterpaduan (cohesiveness).
Ekspektasi adalah harapan yang guru dan siswa pegang mengenai hubungan mereka satu sama lain. Ekspektasi adalah prediksi – prediksi individu tentang bagaimana dirinya dan orang lain akan berperilaku. Oleh karena itu, ekspektasi tentang bagaimana anggota – anggota kelompok akan berperilaku sangat mempengaruhi bagaimana guru dan siswa berperilaku dalam hubungan satu sama lain. Kelompok kelas yang efektif adalah kelompok kelas di mana ekspektasi – ekspektasinya akurat, realistis, dan secara jelas dipahami. Perilaku guru kepada siswa menunjukkan perilaku apa yang diharapkan guru dari para siswa. Jadi jika siswa merasa bahwa guru mengharapkan siswa berperilaku salah maka kemungkinan bahwa para siswa akan berperilaku salah; jika siswa merasa bahwa guru mengharapkan siswa berperilaku benar maka lebih cenderung bahwa mereka akan berperilaku dengan benar.
Kepemimpinan dipandang sebagai perilaku yang membantu kelompok bergerak maju ke arah penyelesaian tujuan – tujuan kelompok tersebut. Jadi, perilaku kepemimpinan terdiri dari tindakan – tindakan anggota kelompok; termasuk tidakan – tindakan yang membantu dalam membentuk norma – norma kelompok, menggerakkan kelompok ke arah tujuannya, mengembangkan kualitas interaksi diantara anggota – anggota kelompok, dan membentuk keterpaduan kelompok. Berdasarkan perannya, guru memiliki potensi paling besar dalam kepemimpinan. Dalam sebuah kelompok kelas yang efektif fungsi – fungsi kepemimpinan ditunjukkan baik oleh guru maupun oleh siswa. Sebuah kelompok kelas yang efektif adalah kelompok kelas di mana fungsi – fungsi kepemimpinan didistribusikan dengan baik, dan di mana semua anggota kelompok dapat merasakan kekuatan dalam menyelesaikan tugas – tugas akademik dan dalam bekerja sama. Bila siswa berbagi tanggungjawab kelas dengan guru, mereka lebih cenderung mampu mengatur diri sendiri dan bertanggungjawab atas perilakunya sendiri. Jadi guru yang efektif adalah dia yang menciptakan sebuah iklim di mana para siswa melaksanakan fungsi – fungsi kepemimpinan. Guru meningkatkan kualitas interaksi dan produktivitas kelompok dngan melatih para siswa untuk melakukan fungsi – fungsi kepemimpinan yang diarahkan pada tujuan serta dengan membagi – bagikan kepemimpinan kepada seluruh kelompok.
Daya tarik mengacu kepada pola kepemimpinan di dalam kelompok kelas. Daya tarik dapat dijelaskan sebagai tingkat persahabatan yang ada diantara anggota – anggota kelompok. Level daya tarik tergantung pada derajat hubungan – hubungan interpersonal yang positif yang telah dikembangkan. Jelas bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat daya tarik dan kinerja akademik siswa. Jadi, manager kelas yang efektif adalah dia yang membantu mengembangkan hubungan interpersonal yang positif diantara anggota – anggota kelompok. Misalnya, guru berusaha untuk meningkatkan penerimaan atas para siswa yang ditolak dan anggota – anggota baru.
Norma – norma adalah ekspektasi yang dimiliki bersama tentang bagaimana anggota – anggota kelompok seharusnya berfikir, merasakan, dan bertingkah laku. Norma – norma mempengaruhi hubungan interpersonal karena norma terssebut menyediakan garis – garis besar yang membantu para anggota memahami apa yang diharapkan dan apa yang seharusnya mereka harapkan dari orang lain. Norma – norma kelompok yang produktif adalah penting untuk efektivitas kelompok. Oleh karena itu, satu tugas guru yang esensial adalah membantu kelompok membentuk, menerima, dan memelihara norma – norma kelompok ynag produktif. Norma – norma semacam itu menyediakan kerangka acuan yang mengarahkan perilaku para anggota kelompok. Kelompok, bukan guru, mengatur tingkah laku dengan menggunakan tekanan kepada para anggota untuk mengikuti norma – norma kelompok. Adalah penting bagi guru membantu kelompok dalam pengembangan norma – norma yang produktif. Ini adalah tugas yang sulit. Para pendukung pendekatan proses kelompok berargumentasi bahwa norma – norma produktif dapat dikembangkan - dan norma – norma yang tidak produktif diubah- melalui upaya – upaya yang disetujui bersama dan upaya – upaya kolaborasi guru dan siswa dengan menggunakan metode – metode diskusi kelompok.
Komunikasi (baik verbal maupun nonverbal) adalah sebuah dialog antar anggota kelompok. Komunikasi melibatkan kemampuan manusia yang unik untuk saling memahami gagasan dan peasaan satu sama lain. Jadi, komunikasi adalah sarana yang digunakan untuk untuk terjalinnya interraksi antar anggota kelompok secara bermakna.komunikasi yang efektif berarti sipenerima menginterpretasikan pesan secara tepat apa yang ingin disampaikan oleh sipenerima pesan. Oleh karena itu, dua tugas guru adalah membuka saluran komunikasi sehingga semua siswa dapat mengungkapkan pemikiran dan perasaannya dengan bebas dan secara berkala menerima pemikiran – pemikiran serta perasaan – perasaan siswa. Selain itu guru seharusnya membantu siswa mengembangkan kecakapan komunikasi tertentu seperti kemampuan menafsirkan, pengecekan persepsi, dan masukan balik.
Keterpaduan adalah perasaan kolektif yang dimiliki anggota kelas tentang kelompok kelas tersebut atau dengan kata lain kesatuan perasaan anggota – anggota kelompok. Tidak seperti daya tarik, keterpaduan menekankan hubungan individu terhadap kelompok sebagai keseluruhan dan bukan sebagai individu dalam kelompok itu. Schmunk and Schmunk mencatat bahwa kelompok padu karena bebagi alasan: (1) anggota – anggota tersebut saling menyukai, (2) ada minat yang tinggi dalam sebuah tugas, (3) kelompok menawarkan prestise kepada angota – anggotanya. Jadi, sebuah kelas akan padu bila sebagian besar anggotanya, termasuk guru, tertarik oleh kelompok secara keseluruhan. Keterpaduan penting untuk produktivitas kelompok. Kelompok – kelompok yang padu memiliki norma – norma yang dibuat secara jelas. Jadi, manajer kelas yang efektif adalah manajer yang menciptakan kelompok yang terpadu yang memiliki norma – norma yang diarahkan pada tujuan.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan Schmunk dan Schmunk, memberi posisi yang penting pada kemampuan guru untuk menciptakan dan memelihara sebuah kelompok kelas yang berfungsi secara efektif dan terarah pada tujuan. Implikasi dari pandangan tersebut seperti yang mereka katakan adalah sebagai berikut:
a. guru seharusnya bekerja bersama – sama dengan siswa untuk mengklarifikasi ekspektasi interpersonal yang dipegang oleh individu dalam kelompok, memahami ekspektasi yang dipegangnya untuk masing – masing individu siswa dan untuk kelompok, memodifikasi ekspektasinya berlandaskan informasi baru, membantu mengembangkan ekspektasi – ekspektasi yang lebih menekankan pada kekuatan siswa daripada kepada kelemahan – kelemahannya, serta membuat sejumlah upaya untuk menerima dan mendukung masing – masing siswa.
b. Guru sebaiknya menggunakan pengaruh yang diarahkan pada tujuan dengan menunjukkan perilaku kepemimpinan yang tepat, dengan membantu siswa mengembangkan kecakapan kepemimpinan dan dengan membagi – bagi kepemimpinan melalui berbagi fungsi – fungsi kepemimpinan bersama para siswa, serta dengan memberi semangat dan mendukung aktivitas kepemimpinan siswa.
c. Guru seharusnya menunjukkan empati kepada siswa dan membantu meeka mengembangkan sebuah pemahaman empati satu sama lain, menerima semua siswa dan mendorong mereka untuk saling menerima, memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sama, dan memfasilitasi perkembangan persahabatan siswa serta hubungan guru-siswa.
d. Guru seharusnya membantu siswa menyelesaikan konplik antara peraturan – peraturan institusi, norma – norma kelompok, dan/atau sikap – sikap individu; menggnakan berbagai teknik problem solving dan metode diskusi kelompok untuk membantu para siswa mengembangkan norma – norma produktif yang terarah pada tujuan; dan mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas perilaku mereka sendiri.
e. Guru seharusnya memunjukkan keahlian komunikasi yang efektif dan membantu para siswa mengembangkan keahlian komunikasi yang efektif; membantu membuka saluran – saluran komunikasi yang mendorong siswa mengungkapkan gagasan – gagasan dan perasaan – perasaan mereka dengan bebas dan konstruktif; meningkatkan interaksi siswa, yang memungkinkan siswa untuk bekerja sama dan mengenal satu samam lain; serta menyediakan kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi tentang proses kelompok secara terbuka.
f. Guru seharusnya mendorong keterpaduan dengan membentuk dan memelihara kelompok kelas yang ditandai dengan ekspektasi yang saling dipahami dengan jelas; kepemimpinan yang diarahkan pada tujuan; empati tingkat tinggi, penerimaan, persahabatan; serta membuka saluran – saluran komunikasi
Sementara itu, Johnson dan Bany menjelaskan dua tipe aktivitas manajemen kelas yaitu fasilitasi (facilitation) dan pemeliharaan (maintenance). Fasilitasi mengacu kepada perilaku – perilaku manajemen yang memperbaiki kondisi – kondisi di dalam kelas; pemeliharaan mengacu kepada perilaku – perilaku manajemen yang memulihkan atau mempertahankan kondisi – kondisi yang efektif. Guru yang mengelola kelas secara efektif menunjukkan perilaku manajemen fasilitasi maupun pemeliharaan.
Johnson dan Bany telah mengidentfifikasi empat macam perilaku fasilitasi; (1) kesatuan dan kerjasama, (2) membentuk patokan – patokan dan menyelaraskan prosedur – prosedur, (3) menggunakan problem solving untuk memperbaiki kondisi – kondisi, (4) mengubah pola – pola perilaku kelompok yang sudah mapan. Mereka juga telah mengidentifikasi tiga perilaku pemeliharaan; (1) mempertahankan dan memulihkan moril, (2) menangani konflik, (3) meminimalkan masalah – masalah manajemen. Meskipun kami tidak bisa memberikan penjelasan penuh tentang perilaku – perilaku manajemen ini - Johnson dan Bany menggunakan empat ratus halaman untuk menjelaskan hal tersebut - namun di sini disajikan penjelasan singkat dari masing – masing perilaku tersebut.
Mencapai kesatuan dan kerjasama (kohesivitas) kelompok kelas adalah tujuan yang penting dan perlu jika guru harus membantu kelompok jadi efektif secara maksimal. Karena kesatuan sebagian besar tergantung pada anggota – anggota kelompok yang saling menyukai satu sama lain dan yang menyukai kelompok itu, tugas guru adalah membuat keanggotaan kelompok jadi menarik dan memuaskan. Johnson dan Bany menyatakan bahwa kesatuan tergantung pada jumlah dan frekuensi interaksi dan komunikasi siswa, jenis struktur yang ada di dalam kelompok, tingkat motif dan tujuan yang dimiliki bersama. Guru seharusnya mendorong siswa berinteraksi dan berkomunikasi dengan menyediakan kesempatan bagi siswa untuk bekerja sama serta untuk mendiskusikan gagasan dan perasaan – perasaan mereka, untuk mengembangkan rasa memiliki yang kuat, dan membantu para siswa mengembangkan dan mengenali tujuan – tujuan bersama.
Membentuk patokan – patokan dan menyelaraskan prosedur – prosedur kerja adalah tanggung jawab guru yang paling penting dan paling sulit. Perilaku standar menetapkan perilaku yang tepat dalam situasi tertentu: prosedur kerja adalah prosedur – prosedur standar yang berlaku bagi proses pembelajaran interaktif. Misalnya, sebuah perilaku standar mungkin melibatkan perilaku yang ditentukan bagi para siswa ketika mereka berada di dalam sebuah antrian di sebuah kafetaria. Sebuah prosedur kerja mungkin mengacu kepada perilaku yang diharapkan dari para siswa ketika mereka ingin mengajukan pertanyaan kepada guru. Johnson dan Bany menekankan pentingnya metode keputusan kelompok sebagai sebuah sarana untuk membuat standar – standar perilaku dan memperoleh ketaatan kepada standar – standar tersebut. Standar – standar yang diterima oleh kelompok menjadi norma – norma kelompok. Dalam sebuah kelompok yang kohesif, ada kepentingan yang besar pada para anggota untuk menyesuaikan diri kepada norma – norma itu. Jadi, kelompok kelas yang efektif adalah kelompok kelas di mana standar – standar dan prosedur - prosedur kerja yang diinginkan diterima menjadi norma – norma kelompok.
Penggunaan diskusi – diskusi problem-solving untuk meningkatkan kondisi – kondisi kelas adalah sebuah strategi yang sangat direkomendasikan oleh para pendukung pendekatan proses kelompok. Proses problem solving dipandang secara berbeda oleh para penulis yang berbeda, namun sebagian besar pemikiran mereka mengandung: (1) mengidentfikasi masalah, (2) menganalisa masalah, (3) mengevaluasi solusi – solusi alternatif, (4) memilih dan mengimplementasikan sebuah solusi, dan (5) mendapatkan masukan balik dan mengevaluasi solusi tersebut. Premis dasar yang melandasi strategi ini adalah bahwa siswa yang diberi kesempatan, diberi keterampilan, dan diberi bimbingan yang perlu, mampu dan akan membuat keputusan – keputusan yang bertanggung jawaab mengenai perilaku kelas mereka. Premis ini menyatakan bahwa guru harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk terlibat dalam kelompok diskusi - diskusi problem solving, mendorong perkembangan kecakapan problem-solving siswa, dan membimbing siswa dalam proses problem solving.
Mengubah pola – pola perilaku kelompok yang mapan melibatkan penggunaan teknik – teknik perubahan yang direncanakan mirip dengan teknik problem solving kelompok. Perbedaannya adalah tujuan proses problem solving adalah untuk menemukan sebuah solusi terhadap sebuah masalah, sementara tujuan dari proses perubahan terencana adalah untuk mendapatkan penerimaan dari sebuah solusi yang telah ditentukan. Jadi, proses perubahan terencana adalah proses untuk meningkatkan kondisi dengan cara mengganti tujuan – tujuan yang tidak tepat oleh tujuan – tujuan yang tepat. Tujuan – tujuan kelompok memberi pengaruh yang kuat pada perilaku anggota kelompok, dan bila tujuan kelompok berada dalam konflik dengan pembelajaran maka para siswa akan berperilaku dengan tidak tepat. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk membantu kelompok mengganti tujuan – tujuan dan perilaku – perilaku yang tidak sesuai dengan yang lebih sesuai, tujuan memuaskan kebutuhan kelompok dan sejalan dengan kebutuhan – kebutuhan sekolah.
Johnson dan Bany berargumentasi bahwa perencanaan kelompok adalah proses terbaik yang dapat digunakan untuk mengubah tujuan – tujuan dan perilaku – perilaku yang tidak sesuai kepada tujuan – tujuan dan perilaku – perilaku yang lebih sesuai. Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa perubahan – perubahan semacam itu adalah lebih cenderung diterima jika para anggota kelompok telah berpartisipasi dalam keputusan untuk melakukan perubahan. Disaran bahwa peran guru adalah membantu para siswa memahami tujuan yang harus dicapai; melibatkan siswa dalam diskusi – diskusi yang membicarakan berbagai rencana untuk mencapai tujuan, memilih rencana, dan mengidentifikasi tugas – tugas yang perlu dilakukan; mengimplementasikan rencana dan melakukan tugas – tugas yang perlu; serta menilai efektivitas rencana tersebut.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa perilaku manajemen fasilitasi guru terdiri dari: (1) mendorong perkembangan kohesivitas kelompok; (2) mempromosikan penerimaan perilaku standar yang produktif; (3) memfasilitasi penyelesaian masalah melalui penggunaan proses problem solving; dan (4) membantu mengembangkan tujuan – tujuan kelompok, norma – norma dan perilaku yang tepat. Maksud dari perilaku manajemen yang fasilitatif adalah peningkatan kondisi – kondisi kelas yang mendorong pembelajaran yang efektif. Perilaku – perilaku manajemen pemeliharaan dimaksudkan untuk memulihkan dan memelihara kondisi – kondisi kelas.
Kemampuan untuk memelihara dan memulihkan moril adalah penting karena tingkat moril kelompok kelas sangat mempengaruhi produktivitas kelompok. Sebuah kelompok dengan moril yang tinggi jauh lebih cenderung jadi produktif dibandingkan dengan kelompok yang bermoril rendah. Perilaku fasilitasi membangun moril; namun guru yang efektif memahami bahwa banyak faktor dapat menyebabkan moril menjadi fluktuatif. Jadi, guru seharusnya memahami faktor – faktor yang mempengaruhi moril dan menunjukkan perilaku yang memelihara moril yang tinggi. Johnson dan Bany mencatat bahwa moril dipengaruhi oleh tingkat kohesivitas, jumlah interaksi dan komunikasi, jumlah anggota yang telah memahami tujuan, sejumlah rintangan yang menghambat upaya – upaya kelompok yang diarahkan pada tujuan, dan kondisi lingkungan yang menyebabkan kekhawatiran dan tekanan.
Guru tidak dapat mengharapkan keberhasilan dalam memulihkan moril jika para siswa menganggap guru sebagai bagian dari masalah itu, atau jika perilaku guru menciptakan masalah – masalah baru. Penggunaan hukuman yang terlalu sering adalah contoh umum dari perilaku guru yang menciptakan masalah – masalah baru.
Menangani konflik di dalam kelas adalah diantara tugas guru yang paling sulit. Perilaku siswa yang bermusuhan dan agresif adalah perilaku yang mengganggu terutama bila perilaku itu ditujuan kepada guru. Tetapi konflik dan permusuhan harus dipandang sebagai akibat normal dari proses interaktif yang terjadi di dalam kelas.
Ada banyak penyebab konflik. Yang utama diantaranya adalah frustasi. Bila kelompok terhambat dalam mencapai tujuan, akibatnya adalah frustasi. Rasa frustasi mewujudkan dirinya dalam bentuk permusuhan dan perilaku agresif, atau penarikan diri dan apatis. Guru yang efektif seharusnya mampu mengenali masalah – masalah semacam itu dengan cepat. Johnson dan Bany menyarankan sebuah proses untuk menyelesaikan sebuah konflik: (1) buat garis – garis besar untuk diskusi, (2) klarifikasi apa yang telah terjadi, (3) selidiki dari berbagai sudut pandang, (4) identifikasi sebab – sebab konflik, (5) kembangkan persetujuan mengenai penyebab konflik dan penyelesaian terhadap konflik itu, (6) tetapkan rencana tidakan, dan (7) buatlah sebuah penilaian positif atas upaya – upaya kelompok. Untuk mencegah konflik, guru dianjurkan untuk mengurangi frustasi sebanyak mungkin dengan cara mengizinkan kelompok untuk mencapai tujuan – tujuan yang layak.
Jika ingin meminimalkan masalah, para guru harus memahami kelompok kelasnya, dan harus mampu mengantisipasi pengaruh berbagai faktor lingkungan yang akan mempengaruhi kelompok itu. Dalam meminimalkan masalah – masalah manajemen, guru yang efektif menggunakan strategi yang utama: (1) perilaku – perilaku fasilitasi dan pemeliharaan untuk membangun dan mempertahankan sebuah kelompok kelas yang berfungsi dengan baik; dan (2) diagnosis dan analisis tentang kesehatan kelompok kelas yang berkelanjutan, serta tindakan berlandaskan diagnosa tersebut. Misalnya, gejala perpecahan meminta perilaku guru yang ditujukan untuk meningkatkan kohesivitas kelompok.
Pengelolaan kelas yang efektif, menurut Johnson dan Bany, melibatkan kemampuan guru untuk menciptakan situasi – situasi yang memungkinkan kelompok kelas jadi produktif dan melibatkan kemampuan untuk memelihara kondisi – kondisi Pemeliharaan kondisi melibatkan kemampuan untuk menjaga tingkat moril yang tinggi, menyelesaikan konflik, dan meminimalkan masalah – masalah manajemen. Terkandung pula di dalamnya adalah perlunya membangun komunikasi yang efektif, menciptakan hubungan interpersonal yang positif, dan memenuhi kebutuhan individu maupun kebutuhan – kebutuhan kelompok. Perilaku – perilaku ini menentukan efektivitas kelompok dan keberhasilan pembelajaran.
Selain pandangan – pandangan yang disampaikan oleh Schmuck and Schmuck dan Johnson and Bany, untuk melengkapi pembahasan ini, ada beberapa gagasan tambahan yang berasal dari riset Kounin dan karya Glasser. Seperti telah dipelajari sebelumnya, Kounin telah melakukan riset yang luas tentang dimensi – dimensi manajemen pengajaran. Beberapa konsep yang berasal dari risetnya dijelaskan sebagai strategi – strategi manajerial pembelajaran. Di sini, tiga strategi tambahan yang relevan dengan pendekatan proses kelompok dijelaskan seperti berikut:
1. Perilaku – perilaku tumpang tindih adalah perilaku – perilaku yang digunakan oleh guru untuk menunjukkan bahwa dia mengurusi lebih dari satu masalah pada waktu tertentu. Guru yang mampu memberi perhatian pada lebih dari satu masalah pada saat yang bersamaan cenderung lebih efektif dibandingkan dengan guru yang tidak mampu melakukan hal tersebut.
2. Perilaku – perilaku yang berfokus pada kelompok adalah perilaku – perilaku yang digunakan guru untuk mempertahankan sebuah fokus pada kelompok - dibandingkan pada siswa secara individu – selama pengamatan. Kounin mengidentifikasi dua aspek perilaku yang berfokus pada kelompok: menyiagakan kelompok; yang mengacu kepada keadaan di mana guru tetap menjaga agar siswa yang tidak sedang diamati tetap memperhatikan; dan akuntabilitas, yang mengacu kepada keadaan di mana guru mengendalikan siswa agar bertanggung jawab atas kinerja tugasnya selama pengamatan. Kounin mendapati bahwa penyiagaan dan akuntabilitas kelompok berkaitan dengan perilaku siswa. Dia menyatakan bahwa guru – guru yang memelihara fokus kelompok lebih berhasil dalam meningkatkan perilaku siswa yang diarahkan pada tujuan, dan dalam mencegah perilaku siswa yang salah.


























BAB III
PENUTUP

Pengelolaan kelas (Classroom management) didefinisikan secara berbeda – beda berdasarkan sudut pandang pendekatan mengenai pengelolaan kelas tersebut. Salah satu definisi yang cukup luas untuk menggambarkan sebuah pendekatan yang plural adalah seperti ini: manajemen kelas adalah seperangkat kegiatan yang digunakan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi kelas yang memfasilitasi pembelajaran yang efektif dan efisien.
Pengelolaan kelas memiliki kedudukan yang sangat penting dalam proses belajar-mengajar di kelas, karena banyak riset yang membuktikan bahwa guru yang berhasil dalam proses belajar-mengajar adalah guru yang menguasai dan mampu menggunakan berbagai metode, pendekatan dan teknik – teknik pengelolaan kelas dengan baik.
Ada berbagai macam pendekatan pengelolalaan kelas yang dapat digunakan oleh para guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Pendekatan – pendekatan tersebut adalah:
(1) pendekatan otoriter (authoritarian approach),
(2) pendekatan intimidasi (intimidation approach),
(3) pendekatakan permisif (permissive approach),
(4) pendekatan ‘buku koki’ (cookbook approach),
(5) pendekatan instruksional (instructional approach),
(6) pendekatan modifikasi tingkah laku (behaviour- modification approach), (7) pendekatan iklim-sosioemosional (socioemotional-climate approach),
(8) pendekatan proses-kelompok (group-process approach), dan
(9) pendekatan pluralistik (pluralistic approach).
Pendekatan otoriter memandang proses manajerial sebagai sebuah pendekatan di mana perilaku siswa dikendalikan oleh guru. Pendekatan ini menempatkan guru dengan peran membentuk dan memelihara ketertiban di kelas melalui penggunaan strategi pengendalian, tujuan utama guru adalah untuk mengendalikan perilaku siswa. Guru memikul tanggungjawab untuk mengendalikan perilaku siswa karena guru ”paling tahu”. Guru adalah ”komandan”. Ini paling sering dilakukan dengan menciptakan dan menjalankan peraturan – peraturan dan tata tertib kelas. Pendekatan otoriter menawarkan lima strategi yang mungkin bisa diharapkan sebagai perbendaharaan strategi manajerial bagi guru: (1) membuat dan menjalankan peraturan; (2) memberikan perintah – perintah, arahan – arahan, dan aturan – aturan: (3) menggunakan ”penghentian” yang lembut; (4) menggunakan kendali kedekatan; dan (5) menggunakan pemisahan dan pengeluaran.
Pendekatan intimidasi menekankan penggunaan perilaku guru untuk mengintimidasi yaitu bentuk hukuman yang keras seperti sarkasme, ejekan, paksaan, ancaman, kekuatan,dan celaan. Peran guru dipandang sebagai seseorang yang memaksa siswa untuk berperilaku menurut keinginan guru.
Pendekatan permisif menekankan kepada perlunya untuk memaksimalkan kebebasan siswa. Tema utamanya adalah bahwa guru harus mengizinkan siswa untuk melakukan apa yang mereka inginkan kapanpun dan di manapun mereka inginkan. Peran guru adalah meningkatkan kebebasan siswa dan karena itu membantu meningkatkan perkembangan alamiah mereka. Intinya, guru diharapkan untuk melakukan campur tangan sedikit mungkin. Guru harus mendorong siswa mengungkapkan dirinya secara bebas mungkin sehingga mereka mencapai potensi mereka secara penuh. Pendekatan permisif hanya memiliki sedikit pendukung.
Pendekatan buku koki berbentuk rekomendasi – rekomendasi yang dianggap sebagai obat untuk penyakit – penyakit manajerial. Gambaran tentang pendekatan buku koki biasanya terdiri dari daftar hal – hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh guru ketika dihadapkan kepada berbagai macam masalah manajemen kelas.
Pendekatan manajemen kelas instruksional didasarkan pada anggapan bahwa pembelajaran yang dirancang dan diimplementasikan dengan cermat akan mencegah sebagian besar masalah dan akan menyelesaikan masalah – masalah yang tidak bisa dicegah. Pendekatan ini memiliki argumentasi bahwa manajemen yang efektif dihasilkan dari perencanaan pembelajaran yang berkualitas tinggi. Jadi peran guru adalah merencanakan secaga cermat “pelajaran – pelajaran yang baik” yakni tugas – tugas yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masing – masing siswa, menyediakan kesempatan bagi masing – masing siswa untuk berhasil, meraih dan memelihara ketertarikan masing – masing siswa, dan memotivasi setiap siswa. Moto mereka yang mendukung pendekatan manajerial instruksional adalah, “Buatlah pelajaran – pelajaran anda jadi menarik”. Para pendukung pendekatan instruksional menyarankan agar guru sebaiknya mempertimbangkan strategi – strategi manajerial berikut:
(1) menyediakan kurikulum dan pengajaran yang menarik, relevan dan tepat; (2) memakai manajemen perpindahan yang efektif;
(3) membentuk kebiasaan – kebiasaan kelas;
(4) memberikan arahan – arahan yang jelas;
(5) menggunakan penambah daya tarik;
(6) menyediakan pertolongan rintangan;
(7) merencanakan perubahan – perubahan lingkungan;
(8) merencanakan dan memodifikasi lingkungan kelas; dan
(9) merestrukturisasi situasi.
Pendekatan manajemen kelas modifikasi tingkah laku di dasarkan pada prinsip – prinsip yang berasal dari psikologi behavioristik. Prinsip utama yang mendasarinya adalah bahwa tingkah laku itu dipelajari. Hal ini berlaku baik untuk tingkah laku yang benar maupun tingkah laku yang tidak benar. Para pendukung pendekatan modifikasi tingkah laku menyatakan bahwa seorang siswa bertingkah laku salah karena dua alasan: (1) siswa itu telah belajar untuk berperilaku salah; atau (2) siswa itu tidak belajar untuk berperilaku yang benar.
Pendekatan iklim sosioemosional dalam pengelolaan kelas memiliki akar dalam konseling dan psikologi klinis, konsekuensinya, pendekatan ini sangat menekankan pentingnya hubungan – hubungan interpersonal. Pendekatan ini berasumsi bahwa pengelolaan kelas yang efektif dan juga pembelajaran yang efektif merupakan sebagian besar fungsi dari hubungan guru-siswa yang positif. Para pendukung pendekatan iklim-sosioemosional menekankan bahwa guru adalah penentu utama hubungan interpersonal dan iklim kelas. Konsekuensinya, tugas manajerial utama guru adalah membangun hubungan interpersonal yang positif dan meningkatkan iklim –sosioemosional yang positif.
Pendekatan proses kelompok dikenal juga dengan sebutan pendekatan sosiopsikologi –yakni pendekatan yang berdasarkan pada prinsip – prinsip psikologi sosial dan dinamisasi kelompok. Premise utama yang mendasari pendekatan proses kelompok didasarkan pada asumsi – asumsi berikut: (1) pendidikan yang diterima di sekolah berlangsung dalam sebuah konteks kelompok yakni kelompok kelas, (2) tugas utama guru adalah menciptakan dan memelihara sebuah kelompok kelas yang efektif dan produktif; (3) kelompok kelas adalah sebuah sistem sosial yang mengandung sifat – sifat umum bagi semua sistem, dan kelompok kelas yang efektif ditandai oleh kondisi – kondisi tertentu yang sesuai dengan sifat – sifat tersebut; dan (4) tugas guru dalam manajemen kelas adalah membentuk dan memelihara kondisi – kondisi yang demikian.
Setiap pendekatan ada kekurangan dan kelebihannya masing – masing, selain itu setiap pendekatan memiliki pendukungnya masing - masing. Guru dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan satu macam pendekatan saja sebaliknya guru dianjurkan untuk menggunakan pendekatan jamak (plural). Pendekatan jamak adalah pendekatan yang tidak menyandarkan pada hanya satu pendekatan melainkan memadukan berbagai pendekatan untuk memperoleh hasil yang terbaik.
















DAFTAR PUSTAKA
Cooper, James M, Classroom Teaching Skills, (Chapter Report, Prof. Dr.H. E.
Mulyasa, M.Pd.
Klein, Stephen B, (1996) Learning, Principles and Application, McGraw-Hill International Edition, New York.
Nasution, S., Prof.Dr, M.A. (2005) Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar
Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta