Tentang Korupsi
Korupsi di Indonesia mustahil bisa dibasmi atau sekalipun bisa diberantas akan sangat sulit dan memakan waktu yang sangat lama. Bahkan ada yang mengatakan “korupsi tidak akan bisa dihilangkan hingga dunia kiamat”. Ini bukan sebuah pernyataan pesimis akan tetapi hanya sebuah pendapat yang didasarkan pada apa yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh kita sendiri. Sebagai salah satu bukti hingga saat ini meskipun upaya pemberantasan korupsi gencar dilakukan, bahkan sampai ada komisi khusus untuk memberantas korupsi, ternyata korupsi jalan terus. Begitu kasus korupsi yang terjadi pada masa lalu ditemukan dan ditangani, bersamaan itu pula bermunculan kasus – kasus korupsi yang baru. Para calon pelaku korupsi sepertinya tidak takut akan dosa dan tidak malu untuk melakukan korupsi seperti para pendahulu mereka.
Kata korupsi berasal dari bahasa Inggris corrupt. Kata ini bisa berjenis kata sifat (adjective) yang berarti sifat orang atau tindakan yang tidak bermoral (immoral), bermoral jahat (depraved), tidak jujur (dishonest) terutama berkaitan dengan suap menyuap. Kata corrupt sebagai kata sifat juga bisa berarti tidak murni (impure). Kata ini bisa juga berjenis kata kerja yang berarti membuat atau menjadi korup (make or become corrupt). Sementara menurut Kamus hokum korupi bermakna : buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi (Kamus Hukum, 2002).
Bila mengacu kepada definisi di atas ini berarti semua orang atau tindakan yang tidak bermoral, bermoral jahat, dan tidak jujur, serta mau menerima suap dapat dikatakan korupsi. Hingga saat ini pengertian korupsi di Negara kita baru sebatas tindakan yang merugikan Negara terutama dalam bidang keuangan. Dan dari pengertian ini saja jumlah korupsi di Negara kita sudah sangat banyak hingga mendongkrak posisi Indonesia ke jajaran sepuluh besar Negara terkorup di dunia. Dari survey yang dilakukan pada 146 negara, Indonesia menduduki posisi nomor lima Negara terkorup di dunia di bawah Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, dan Kamerun. Seandainya makna korupsi ini diperluas maka dipastikan peringkat korupsi Indonesia di dunia akan naik pula. Untuk tingkat Asia Pasifik bahkan Negara kita ini, menempati posisi pertama dalam daftar Negara paling korup. Hal ini berdasarkan hasil sebuah survey sebuah lembaga independen. Berikut ini adalah daftar lima Negara Terkorup di Asia Pasifik yang dirilis oleh PERC pada tahun 2010.
1. Indonesia
2. Kamboja
3. Vietnam
4. Filipina
5. Thailand
Sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Pertama masih banyak orang kita yang tidak mengerti apa yang dimaksud dengan korupsi yang sebenarnya sehingga tanpa disadari mereka juga telah melakukan korupsi. Mereka hanya tahu bahwa korupsi itu adalah mengambil uang Negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan bangsa dan rakyat dialihkan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongannya sendiri. Mereka merasa bahwa kalau memberikan sejumlah uang atau barang kepada seseorang demi menjadi seorang pegawai negeri /swasta, menjadi tentara/polisi, menjadi Kepala Sekolah/Pejabat atau untuk menjadi anggota Dewan baik di pusat maupun daerah itu adalah bukan perbuatan korupsi. Padahal semua itu jelas merupakan sebuah tindakan yang tidak jujur dan tergolong korupsi.
Faktor kedua adalah berkaitan dengan sifat mayoritas bangsa kita yang lebih suka diberi daripada memberi. Sifat ini tidak hanya ada pada rakyat jelata akan tetapi juga ada pada pejabat tinggi. Tuntunan agama Islam yang menyatakan bahwa tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (diberi) bagi sebagian orang sama sekali tidak bermakna. Sifat ingin diberi ini sangat kentara pada saat – saat tertentu. Pada hari raya keagamaan misalnya, banyak orang rela berdesakan bahkan mempertaruhkan keselamatannya demi memperoleh sedekah/zakat berupa satu kilogram beras atau demi uang sepuluh ribu rupiah. Begitu pun banyak para pejabat yang akan sangat senang hatinya bila menerima parcel dari bawahannya pada hari raya. Pada tingkat rakyat jelata,misalnya, banyak orang yang berpura – pura miskin (padahal tidak) demi memperoleh bantuan atau keringanan yang hanya diperuntukkan bagi orang miskin.
Pada tingkat pejabat kita juga pasti masih ingat ketika beberapa tahun yang lalu para anggota DPR minta dibelikan Laptop oleh Negara. Padahal bagi mereka laptop bukan barang yang mahal. Kalau tidak memiliki sifat selalu ingin diberi, bisa saja mereka membeli laptop dengan uangnya sendiri, meskipun laptop tersebut untuk menunjang kinerja mereka sebagai anggota dewan. Toh tidak ada salahnya kalau mereka merogoh kocek sendiri. Seorang guru yang gajinya kecil saja, namun demi meningkatkan kinerja dalam proses pembelajaran bisa beli laptop sendiri!
Faktor ketiga yang menyebabkan sulitnya memberantas korupsi di Indonesia adalah berkaitan dengan gaya hidup mayoritas bangsa kita yang konsumtif dan suka hidup mewah. Mayoritas bangsa kita sangat senang membelanjakan uangnya daripada ubtuk menabung apalagi untuk beramal. Bahkan semakin kaya seseorang semakin jauh belanjanya. Untuk membeli baju saja sebagian orang ada yang harus ke Singapura atau Negara lainnya. Mayoritas bangsa kita masih menjadikan harta kekayaan dan jabatan sebagai lambang status sosial yang utama. Akibatnya, banyak bangsa kita yang berupaya untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak – banyaknya dan berusaha memperoleh jabatan dengan menghalalkan segala cara, apapun dilakukan meskipun harus bertindak tidak jujur.
Gaya hidup mewah melahirkan sifat tidak punya malu. Para pejabat dan keluarganya merasa tidak malu bahkan merasa bangga menggunakan mobil dinas berplat merah untuk kepentingan pribadinya. Bahkan dibawa ke kampung halaman pada saat mudik lebaran dan dipakai berwisata. Keluarga dan sanak saudara mereka pun tidak malu bahkan bangga bercerita bahwa mereka pernah mendapat fasilitas/kemudahan – kemudahan karena mempunyai saudara yang menjadi pejabat. Banyak orang di negeri ini yang suka mempertontonkan kemewahannya di tengah – tengah kemiskinan orang lain. Mereka seakan tidak peduli dengan orang lain yang hidup super susah. Ketidakpedulian ini menyebabkan kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin semakin jauh ibarat bumi dan langit. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin seperti syair salah satu lagu Rhoma Irama nampaknya benar – benar jadi kenyataan. Gambarannya adalah si miskin punya rumah seharga 800 ribu untuk seumur hidup sementara si kaya bisa menyewa kamar seharga satu setengah juta rupiah hanya untuk satu malam.
Ada yang dengan tanpa malu membeberkan bahwa untuk menjadi seorang anu atau menduduki jabatan ini dan itu perlu uang sekian. Misalnya untuk jadi tentara atau polisi harus punya uang sekian puluh juta, dan sebagainya, dan sebagainya. Meskipun semua itu dibantah oleh pejabat yang berwenang dibidangnya dan sulit untuk dibuktikannya nyatanya semua itu terus terjadi dan selalu menjadi bahan obrolan banyak orang.
Di dunia pendidikan pun demikian untuk menjadi kepala sekolah harus menyediakan uang sebesar 40 – 70 juta rupiah. Sehingga tidak heran bila ikalangan guru ada lelucon seperti ini: “meskipun membuat administrasi satu truk, pengalaman seabrek, masa kerja belasan tahun, kalau tidak punya uang tetap tidak akan pernah promosi jadi Kepala Sekolah”. Bisa dibayangkan kalau untuk menjadi seorang Kepala Sekolah harus nyogok 70 juta sementara uang tunjangan Kepala Sekolah hanya kurang dari satu juta rupiah setiap bulannya, maka untuk mengembalikan uang yang 70 juta itu paling tidak perlu 70 bulan dan itu tidak mungkin dicapai karena masa jabatan Kepala Sekolah hanya empat tahun dan bila kinerjanya bagus bisa diperpanjang empat tahun lagi. Maka jalan keluarnya adalah dengan mengakalinya dari uang BOS (Biaya Operasional Sekolah). Tidak heran sejak uang BOS dikucurkan banyak yang berebut ingin jadi Kepala Sekolah meskipun dengan cara tidak jujur. Mereka rela mengeluarkan dana sesuai dengan permintaan para calo jabatan Kepala Sekolah tersebut yang jumlahnya hingga puluhan juta rupiah.
Rencana pemerintah pusat untuk mengalihkan uang BOS kepada daerah hendaknya dipikirkan dengan baik dan matang. Jangan – jangan apa yang dikhawatirkan oleh ICW (Indonesian Corruption Watch) bahwa hal itu memperbesar potensi terjadinya korupsi akan menjadi kenyataan. Ini sangat mungkin karena akan semakin memperpanjang jarak pengawasan oleh pusat dan memperpendek jarak antara orang yang paling bertanggung jawab mengelola BOS di lapangan yakni Kepala Sekolah dengan para pejabat yang mengucurkan dana BOS tersebut. Semakin dekatnya jarak akan semakin mempermudah terjadinya kolusi di antara kedua belah pihak. Sekarang saja, seandainya pemeriksaan terhadap Kepala – Kepala Sekolah mengenai penggunaan uang BOS benar – benar dilakukan secara ketat dan jujur, bisa dipastikan bahwa akan lebih banyak yang bermasalah dibandingkan dengan yang tidak bermasalah dalam pengelolaan dan penggunaan uang tersebut. Gejala itu terlihat dari banyaknya Kepala Sekolah yang ketakutan kalau ada orang yang datang ke sekolahnya untuk mengorek perihal uang BOS. Logikanya kalau dia lurus, bersih, dan tidak bersalah kenapa harus takut! Sayangnya, sering ada orang yang mengetahui penyelewengan itu, bukannya menegur malah memanfaatkan kesalahan itu sebagai senjata untuk meminta sejumlah uang dari Kepala Sekolah tersebut.
Sulitnya memberantas korupsi di Indonesia juga disebabkan karena korupsi tersebut dilakukan oleh banyak orang mulai dari pejabat paling bawah hingga pejabat paling atas pada semua tingkatan, di banyak tempat, di tingkat pusat maupun di daerah. Hampir di setiap tempat dan dalam urusan apapun yang kita jalani kita akan temukan orang – orang yang bermental korup. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam diskusi ‘Akar-akar Mafia Peradilan di Indonesia (18 Feb 2010) mengatakan bahwa , “Hampir semua pejabat itu korupsi,”.
Di pelabuhan, di terminal, di loket tiket hingga di pekuburan.Di tempat parkir hingga tempat kir mobil, dari departemen agama hingga departemen tenaga kerja, dari departemen perhubungan hingga departemen kehutanan, semua ada oknum korupnya.
Saat ini di Indonesia sangat sulit mencari pejabat yang jujur, meskipun diyakini masih ada namun jumlahnya sangat sedikit. Mereka yang jujur dan tidak ikut – ikutan “gila” itu sering disebut orang – orang idealis dan biasanya karirnya tidak secemerlang mereka yang menghalalkan segala cara. Dikhawatirkan jumlah orang – orang jujur di negeri ini makin lama akan makin berkurang mengingat godaan untuk berbuat tidak jujur begitu kuat dan dahsyat, serta semakin terang – terangan. Selain itu alih – alih mendapat pujian, orang – orang baik tersebut malah sering mendapat cibiran dan olok – olok serta disebut sok suci. Saat ini banyak orang yang sudah tidak merasa malu lagi memperjual belikan jabatan.
Apa pun di negeri kita tercinta ini sering dimanfaatkan oleh para pencari uang haram untuk mendapat keuntungan bagi dirinya atau kelompoknya. Para pakar korupsi sering memanfaatkan Pemilihan Kepala Daerah, penunjukkan pejabat, promosi dan mutasi jabatan, pengangkatan pegawai negeri/swasta, penentuan pemenang proyek, hingga pemilihan Kepala Desa/Lurah sebagai ladang untuk mencari uang. Mereka juga memanfaatkan Ujian Nasional hingga sertifikasi guru untuk memperoleh uang. Keinginan sebagian siswa untuk mendapatkan nilai yang baik tanpa harus kerja keras dimanfaatkan oleh mereka yang bermental koruptor dengan cara menjual soal Ujian Nasional. Tidak heran kalau akhirnya soal Ujian bocor dan melahirkan lulusan sekolah yang memperoleh angka (number) hasil ujian bagus akan tetapi tidak menunjukkan nilai (value) dia yang sesungguhnya.
Bahkan di suatu daerah,terbatasnya kuota peserta sertifikasi guru dalam jabatan yang tidak sebanding dengan jumlah guru yang segera ingin disertifikasi dimanfaatkan oleh para koruptor dengan cara meminta, menawarkan dan menjual kuota dengan harga tertentu. Sertifikasi guru yang semula ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme guru kini berubah menjadi sarana untuk segera mendapatkan tunjangan fungsional. Mereka berlomba – lomba untuk masuk sebagai peserta sertifikasi bukan karena ingin menjadi guru professional akan tetapi ingin segera mendapat sertifikat guru professional sebagai awal untuk mendapatkan tunjangan profesi. Berbagai cara pun ditempuh mulai dari membuat sertifikat diklat aspal hingga memalsukan usia dan masa kerja.
Para koruptor itu benar – benar tidak takut yang namanya dosa, menurut mereka sogok menyogok itu adalah urusan dunia dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan akhirat. Sungguh sebuah kesesatan yang nyata! Para koruptor juga sama sekali tidak merasa risih kalau uang hasil korupsinya itu dimakan dan menjadi “darah daging” dalam diri dan anak-isteri, serta keluarganya. Mereka tidak takut kalau darahnya menjadi darah tinggi dan dagingnya menjadi “daging jadi” alias tumor.
Sungguh miris kita menyaksikan semua ini. Tapi ini adalah sebuah kenyataan yang harus kita hadapi. Kita ini hidup di sebuah Negara yang subur dan makmur, kaya dengan sumber daya alam namun miskin dengan sumber daya manusia yang saleh, berakhlakul karimah, jujur, beretos kerja tinggi, dan bersih dari sifat – sifat korup. Kita hanya berharap dan berdo’a semoga mereka segera kembali ke jalan yang benar atas bimbingan Allah, Tuhan semesta alam.